Gue pikir setelah ngomong gitu Dea bakalan masuk ke kamar mandi lagi. Ternyata, dia malah duduk di depan gue. Aroma bunga mawarnya menyengat banget! Aroma kopi gue sampai minder. Di dahinya, bekas memar pukulan Sulay aja masih merah. Sekarang ditambah lagi di pipinya gara-gara orang bertopeng tadi. Kasian.
"Kita k-kayaknya gak boleh b-berantem dulu, deh,"
"Kenapa?"
"I-iya ... nanti muka kamu b-bonyok lagi,"
"Oh ... kamu khawatir muka aku gak cantik lagi, ya? Lucu banget, deh...."
"I-iya ... b-bukan gitu juga, sih ... tapi akhir-akhir ini orang-orang yang kita lawan semuanya kuat banget."
Dea menatap gue dengan sinis.
"Kamu meragukan kekuatan aku!? kekuatan kita!?"
Buset! Salah ngomong, nih gue!
"Kita cuma perlu lebih banyak latihan. Lebih banyak percaya. Dan lebih dekat biar kekuatan kita bisa bersinergi, Do,"
"I-iya ... aku setuju itu, kok,
"Pokoknya, mulai sekarang aku mau dekat terus sama kamu! Dan kamu juga harus latihan pedang lebih serius. Oke, Mardo!?"
"O-oke!"
Beberapa jam habis ngomong gitu, Dea malah hilang dari rumah tanpa kabar. Dasarnya cewek, baik manusia atau jin sekalipun, emang gak bisa ditebak. Dan gue, memanfaatkan waktu kosong yang panjang ini dengan rebahan. Cowok.
Gue memandangi bola mata kecil yang menjadi buah kalung ini. Waktu itu, kenapa dia bisa nyala, ya? Lalu gue juga memandangi gelang pemberian Mery yang masih misterius sampai saat ini. Pasti ada seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaan gue. Dan gue yakin banget orang itu bukan Sulay.
Memandangi meja laptop yang kosong, bikin gue kangen sama pedang gue. Dan entah kenapa, gue juga jadi kangen sama Mery. Oh iya! Gue belum sempat buka hadiah dari Mery! Mumpung Dea lagi gak ada, gue segera membuka kotak kecil itu.
Di dalamnya, terbaring dengan cahaya berkilau sebuah cincin. Di permukaan abu-abunya terukir sebah huruf "M" Dan di dasar kotaknya, sebuah kertas menunggu untuk segera di buka. Sebuah surat.
"Gue gak tahu ini muat di jari lo atau enggak, tapi gue harap lo mau pake. Dan gue saranin dipake di tangan kanan, biar bisa dekat sama gelang yang gue kasih."
Waktu mau gue pasang di telunjuk kanan, asap merah Dea tiba-tiba keluar dan tangan gue gak bisa digerakin!
"Apaan, tuh!?"
Dea tiba-tiba udah berdiri di belakang gue!
"N-ngapain kamu d-di sini!?"
Dea mengambil cincin itu. Cincin itu ngeluarin asap putih. Dea kaget dan cincin itu jatuh ke lantai.
"Kamu dapat di mana, Do!?"
Gue percaya kalau gue jago mancing. Tapi gue tahu kalau gue gak jago bohong.
"Dikasih ... Mery."
Dea menunduk, lalu duduk di samping gue tanpa suara.
"Kalau dipikir-pikir lagi ... pada kenyataannya kita memang beda. Dan yang terlalu jauh berbeda selalu gak bisa bersama," katanya.
Beberapa butir air mata menetes seiring detak jarum jam yang mengisi kesunyian.
"Maaf, Do. Mulai sekarang ... aku hanya akan jadi sebatas rekan kerja profesional kamu doang."
Tangan gue bisa bergerak kembali. Dea pergi, meninggalkan beberapa helai kelopak mawar yang berjatuhan. Beberapa saat gue terdiam, terdengar ada yang mengetuk pintu. Gue sempat panik kalau seandainya Dea yang ngebukain pintu, buat siapapun itu. Tapi kayaknya Dea pergi, deh. Dan ketika pintu terbuka, Pak Nang berdiri dengan tangan di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...