Mulailah kami berjalan menyusuri lorong blok F22, memperhatikan satu-persatu nomor yang tertulis di atas mesin. Kode mesin itu adalah: '87PF' yang ternyata berada hampir di ujung lorong. Sulay menyuruh gue buat mengambil mesin itu. Tentu aja gue bingung, dong.
"Gimana caranya, Pak? Banyak kabelnya gini. Terus ini ada bautnya lagi,"
"Lo, kan punya otak dalam kepala lo. Coba lo pikirin caranya."
Sulay emang gak punya otak, makanya dia nyuruh otak gue. Untungnya gue ini dulu sering ngelihatin tukang listrik yang bertugas setiap kali ada kabel putus gara-gara layangan. Seingat gue, hal pertama yang harus dilakuin kalau berurusan sama listrik adalah: matiin dulu arus listriknya.
Gue udah senyum-senyum waktu ngelihat ada benda mencurigakan dengan tombol hijau dan merah. Udah pasti, tombol hijau berarti nyala, dan tombol merah berarti mati. Dengan gampangnya gue menekan tombol merah, dan kemudian semuanya seketika mati! Waduh!
"Lo apain bego!? Cepat nyalain lagi!" kata Sulay.
Karena seisi rumah jadi gelap, gue jadi kesulitan nyari tombol hijau yang tadi. Waktu tangan gue mencoba meraba-raba, gue kaget banget waktu merasa kalau tangan gue bergerak sendiri!
"Cepat nyalain, Do! Gawat, nih!"
Gue ngikutin aja ke mana tangan gue bergerak sampai gue menekan sebuah tombol Dan ... semuanya kembali terang!
"Lo masih punya duit buat ganti rugi nggak?" tanya Sulay.
"H-hah? A-ada, sih ... tinggal 8 jutaan. Kenapa, Pak?"
Sulay memasang kuda-kuda siap bertarung. Gue merasa ada yang mendekati kami dari blok sebelah. Gue yakin itu pasti cowok yang tadi. Dia pasti mau marah-marah karena gue tadi matiin listriknya. Tapi ternyata gue salah. Yang datang justru seorang cewek berkacamata tebal.
"Cepetan lo cabut alat itu. Biar gue yang urus ceweknya."
Giliran ada cewek cakep dia langsung duluan. Gue malah disuruh jadi tukang listrik.
"Kami cuma lagi tugas buat ngambil satu alat itu. Gak perlu ada ribut-ribut," kata Sulay.
Setelah gue otak-atik dan bautnya gue copot pake ujung pedang, akhirnya alat itu udah bisa gue angkat. Roksi emang serba bisa.
"Udah, Pak."
Cewek itu diam aja menatap kami. Gaya rambutnya yang terurai ke samping ternyata bikin cewek itu manis juga. Kacamatanya yang punya frame tebal itu seakan-akan jadi pertanda kalau dia itu kutu buku banget. Anehnya, sihir biru gue gak bisa ngerasain detak jantungnya.
"Kami mau pergi sekarang. Bisa tolong minggir?" kata Sulay.
Dengan jaket hoodie kuning yang kebesaran itu, dia melangkah ke hadapan Sulay. Muncul asap kuning di sekujur tubuhnya! Asap itu secara gak santai masuk ke dalam paru-paru gue! Secara aneh, gue tiba-tiba gak bisa bergerak!
"Sadar, Do!"
Sulay memukul perut gue dengan asap hitamnya.
"Sadar, Do! Jangan sampai dia ngendaliin pikiran lo!"
Setahu gue, asap kuning cuma bisa dipake buat komunikasi semacam telepati doang. Bukannya mengontrol tubuh orang lain! Gue emang masih sadar dan bisa mikir, tapi tubuh gue seakan punya pikiran sendiri! Gue kenapa, nih!? Menyadari gerak-gerik gue yang akan menyerang tanpa sadar, Sulay segera memukul cewek itu.
Pukulannya emang kena telak di pipi kanannya, dan cewek itu emang terpental. Bukannya menabrak alat-alat penambang, cewek itu melebur jadi asap kuning dan kembali melesat menuju kami. Dia kembali ke wujud cewek dan masih menatap kami tanpa ekspresi. Kayaknya dia adalah jin penjaga rumah ini yang gak pengin tempat ini berantakan.
"Pak! Tolongin gue, Pak! Gue gerak sendiri, nih!"
Gue mengangkat pedang, memposisikannya tepat berada di leher gue sendiri! Gawat banget! Apa cewek itu berusaha bikin gue bunuh diri! Sialan! Sialan! Gue harus gimana, nih! Gue pasti mati kalau pedang ini sampai mengiris leher gue sendiri. Tapi gue gak akan mati kalau yang mengiris leher gue adalah bantal! Aha!
Sepersekian detik tanpa ragu waktu gue berusaha bunuh diri itu, gue menggunakan sihir hijau buat menukar posisi Roksi dengan bantal yang bisa gue lihat di depan. Cewek itu masih tanpa ekspresi, dan tubuh gue masih gerak sendiri! Karena tanpa pedang, sekarang dia malah membuat gue mencekik leher gue sendiri! Kampret!
Sulay menahan tangan gue, dan karena Sulay emang punya tenaga yang lebih kuat daripada gue, akhirnya gue berhenti. Sulay memukul rak-rak yang berisi mesin-mesin itu sampai semuanya bergoyang. Cewek itu mengalihkan pandangannya dan kayaknya dia takut mesin-mesin itu rusak.
Sulay memukulnya sekali lagi sampai salah satu rak penyok dan membuat miring semua alat-alat itu. Cewek itu teralihkan, lalu Sulay berlari menuju pedang gue. Dia menyerang cewek itu menggunakan pedang gue. Sekali lagi, dia cuma melebur jadi asap kuning tanpa terluka. Sulay kembali dan menggenggamkan pedang ke tangan gue. Kayaknya dia pengin gue bunuh diri lagi, deh!
"Kenapa lo balikin, Pak!? Gue masih gak mau mati!"
"Kalau lo gak mau mati, lo harus bisa gerakin tubuh lo lagi! Gunain asap merah!"
Karena Sulay membantu tangan gue menggenggam gagang pedang, asap merah Dea akhirnya keluar dan menyelimuti seluruh tangan kanan gue. Benar! Tangan kanan gue bisa gerak lagi! Tapi tangan kiri gue tiba-tiba aja memukul muka Sulay!
"Sinting lo! Udah gue tolongin malah mukul!"
"Bukan gue, Pak! Sumpah!"
Tiba-tiba gue punya ide. Gue teringat sama ikan cupang yang lagi jagain telor-telornya. Dia pasti akan marah dan agresif banget kalau telornya diganggu. Tapi itu juga bikin dia gak peduli sama hal lain. Aha! Gue punya rencana super cerdas!
"Woy! Penjaga batu bara!"
Cewek itu menatap gue seketika waktu pedang gue siap memotong kabel-kabel yang ada.
"Lepasin gue! Kalau enggak, gue akan potong semua kabel ini dan lo akan gagal bertugas sebagai pelindungnya. Gimana!?"
Gue menyayat satu kabel, dan satu mesin tiba-tiba mati. Cewek itu mengangkat tangan kirinya, dan membuat gerakan sedang menarik agar asap kuning keluar dari tubuh gue. Akhirnya gue bisa gerak lagi! Gue sama Sulay langsung berlari keluar. Dan ternyata belum selesai! Semua pintu tiba-tiba terkunci.
Kali ini, cowok yang tadi berdiri menghadang kami sambil memegang pensil berwarna hijau. Di tangan kirinya dia memegang buku gambar seukuran bungkus nasi. Iya, gue lapar! Dan dari belakang kami, cewek tadi mendekat dengan sebuah pisau kecil yang tampak tajam.
"Rumah ini adalah rumah bisnis. Kenapa kita gak bisnis aja daripada berkelahi?" kata cowok itu.
"Apa maksud lo?" tanya Sulay.
Dia menunjuk mesin penambang yang gue pegang.
"Mungkin bos kami emang beli alat itu dengan harga lebih murah, tapi mesin itu menghasilkan lebih banyak daripada yang lain. Kalau kalian mau, gimana kalau kalian beli aja alat itu?"
"Kalau kami nolak?"
Cowok itu menatap cewek di belakang kami. Dengan pensil dan buku gambarnya, dia tampak menggambar sesuatu. Secara aneh, di tangan cewek itu muncul sebuah pistol! Dia langsung menodongkannya ke dahi Sulay, dan pisaunya mengarah ke depan hidung gue! Ini cewek kenapa, sih!?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...