BAB 46: Sebuah Rooftop

52 8 0
                                    

Sepulangnya kedua bapak-bapak baik hati itu, gue dan Dea duduk di teras rumah memandangi pohon mangga yang tergeletak. Walaupun gue gak suka kopi manis, tapi gue lebih gak suka minuman yang gak dihabisin. Ketika berjuang ngabisin kopi manis sepupu kecap bikinan Dea, gue memperhatikan kembali wajahnya.

"Dea. Kamu pakai make up, ya?"

"Cuma pakai lipstik, kok. Kenapa, Do?"

Pipinya kembali ke warna kulit semula.

"Enggak ... tadi aku ngelihat pipi kamu jadi merah. Tapi gak ada asap."

Dea tersenyum.

"Iya. Tadi entah kenapa aku jadi malu sama bapak-bapak itu."

Akhirnya, gue berhasil menghabiskan secangkir kopi penyebab diabetes itu.

"Gimana perasaan kamu? Itu tadi Pak Timan, lho,"

"Emm ... aku masih ngerasa menyesal, sih, Do. Mungkin nanti ada saatnya aku mau minta maaf langsung sama beliau."

Gue membalas pernyataannya dengan senyum lebar. Dea sedang di dapur ketika gue membolak-balik sarung pedang gue. Tulisan misterius itu masih bisa dibaca dengan samar ketika terkena cahaya matahari. Mengingat ini adalah pemberian Mery, mungkin ini adalah waktu yang tepat buat gue berani nanya-nanya sama dia.

"Kamu mau ke mana, Do?" tanya Dea.

"Aku mau ketemu sama Mery. Banyak hal yang mau aku tanyain sama dia,"

"Mery? Cewek berkacamata itu, ya?"

"Iya,"

"Yaudah. Kalau ada apa-apa, aku pasti langsung datang."

Gak seperti yang gue kira, di mana Dea akan cemberut dan mulai sinis kalau gue menyebut nama Mery. Nyatanya, Dea biasa aja. Masih bisa dikatakan pagi yang cerah ketika gue berdiri memandangi kantor yang berupa ruko dua lantai itu. Gak seperti biasanya di mana gue asal masuk aja dan gak pernah merhatiin bangunan ini dari luar, kali ini berbeda.

Gue mondar-mandir, mencoba melihat lebih detil bangunan kantor gue. Kalau boleh jujur, maka bisa gue katakan gak ada yang spesial. Bahkan, gak ada nama perusahaan atau tanda apapun yang menyatakan kalau ini adalah sebuah kantor yang di dalamnya sangat besar dan luas.

Sebelum melangkah masuk, gue mengirimi pesan WhatsApp pada Mery. Ngasih tahu kalau gue mau ngobrol cukup panjang, dan nyari tahu jam berapa dia gak sibuk. Balasan masuk lebih cepat dari yang gue kira.

"Tunggu di rooftop. Bentar lagi gue nyusul."

Maka, naiklah gue ke lantai teratas bangunan ini. Sebuah ruko dua lantai itu harusnya gak begitu tinggi. Namun entah kenapa, gue menaiki tangga yang kayaknya banyak banget. Sesampainya di puncak, ternyata ada beberapa orang juga yang kayaknya lagi sibuk sama laptop masing-masing.

Untungnya gue masih kebagian tempat duduk sembari nungguin Mery tiba. Karena gak ada kegiatan, gue iseng memperhatikan cowok-cowok berpakaian serba hitam itu. Mereka sama sekali gak peduli sama kehadiran gue. Mereka ini bisa gue katakan kayak orang-orang serius yang lagi ngerjain sesuatu dari laptopnya.

Kalau di tempat pemancingan, orang-orang kayak gini bisanya duduk di tempat teduh dengan tatapan yang gak pernah lepas dari air dengan tampang serius. Entah kenapa gue tiba-tiba teringat sama Sulay yang juga kadang-kadang sibuk sama hpnya. Dia juga pernah ngasih tahu gue soal aplikasi yang bisa ngasih tahu soal suatu kejadian.

Iya juga, ya! Kenapa sampai sekarang gak gue download!? Buru-buru gue mengeluarkan hp, lalu ... gak tahu harus download apaan. Nama aplikasinya aja gue gak tahu. Dengan layar hp menyala, gue memperhatikan kembali orang-orang cuek jenius itu. Aha! Saatnya gue mengandalkan skill browsing gue!

Gue segera mencari dan membaca artikel soal: tutorial menyapa orang pintar, cara berbicara dengan orang sibuk, kiat-kiat bertanya pada orang asing tapi satu kantor, dan lalu kesasar ke artikel tanda-tanda cewek suka sama cowok.

"Sorry, Do ... lama, ya?"

Mery tiba-tiba aja duduk di depan gue.

"Enggak, kok. Ini beneran gak apa-apa lo ninggalin kantin jam segini?"

"Aman. Nih, ngopi dulu."

Sebuah kopi dalam botol transparan yang tampak masih hangat berjejer di depan mata gue. Mery gak bawa satu atau dua, melainkan tujuh! Gue mengambil satu, begitu pula Mery.

"Enak, nggak?"

"Selalu."

Mery membenarkan kacamatanya, memajukan badan, pertanda siap buat ngobrol serius.

"Jangan percayai dia," kata gue tiba-tiba.

"Hah?"

Gue menatap kedua bola matanya.

"Itu tulisan siapa, Mer?"

"Maksud lo apa, Do? Gue gak ngerti."

Gue melepas tali ikatan pedang gue, lalu menaruhnya di meja.

"Lo yang bikin tulisan ini, kan?"

Mery membenarkan kacamatanya sebentar, lalu muncul sebuah percikan seperti asap berwarna kuning dari ujung jari telunjuknya! Asap kuning itu dengan sekejap masuk lewat hidung gue. Dengan aneh, gue tiba-tiba gak bisa mendengar! Kecuali, embusan napas Mery.

"Santai, Do ... jangan panik. Sekarang, gak ada yang bisa dengar obrolan kita,"

"I-ini ... s-sihir k-kuning? L-lo bisa sihir buat masuk ke dalam pikiran orang!?"

"Gak ada yang spesial. Gue gak bisa lebih dari ini,"

"Dengar, Do. Akan ada yang curiga waktu ngelihat kita berdua cama tatap-tatapan. Kita gak bisa ngobrol banyak dalam keadaan kayak gini. Lo ada cara lain, nggak?"

Gue mikir bentar. Kalau sekarang keadaannya seperti kami berdua lagi telepati, dan itu bisa bikin orang lain curiga, maka selain bikin orang gak bisa dengar, kami juga harus bikin orang gak sadar. Dan salah satu yang sering gak disadari orang adalah perpindahan detik-demi-detik. Yoi, waktu.

Gue mengingat Kikuem yang pada waktu ngajarin gue sihir hijau, pernah bilang kalau sihir ini bisa dipake buat ngendaliin waktu tidur pulas ke tubuh yang bahkan baru berkedip. Gue udah bisa membuat titik waktu ke sebuah objek, lalu detik itu juga gue menukar posisi dengan objek itu.

Mungkin, secara teori nantinya akan begini: gue akan membuat titik waktu pada tubuh Mery, lalu Mery mulai melakukan sihir telepatinya. Ketika udah selesai ngobrol sepuasnya, gue tinggal ngembaliin waktu yang kepake ke titik waktu itu. Maka harusnya, seakan-akan kami cuma diam selama beberapa detik aja. Mungkin.

Kenapa gue bisa mikirin teori ini? Pertama karena ini pagi hari, kedua karena udah ngopi, ketiga karena Mery cantik banget hari ini. Keempatnya adalah: mungkin ini yang dimaksud Kikuem soal tidur itu. Di mana pengguna sihir membuat titik waktu setelah dia tidur pulas, dan menukar kondisi tubuhnya ketika dia merasa ngantuk tapi masih gak boleh ketiduran. Mungkin gitu.

Berapa kalipun gue pikirin, teori ini masih terasa gak masuk akal dan terlalu memaksakan daya pikir gue. Dan dengan cepat, gue teringat ucapan Dea, kalau selain panca indera, hal yang paling menjadi kunci keberhasilannya adalah imajinasi. Sebuah panca indera visual dalam khayal, yang gak memiliki batas kecuali oleh dirinya sendiri. Aha!

"Gue tahu caranya, Mer. Stop dulu."

Mery minum kopi sebentar, lalu tampak kaget ketika gue memegang tangannya.

"Do? k-kenapa?"

Dengan tangan gue menindih tangannya, maka gue membuat titik waktu di sana. Seakan setangkai bunga mawar tumbuh di sana.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang