BAB 79: Cerita Gang itu

57 8 2
                                    

Untungnya masih belum terlalu malam bagi bapak-bapak seperti Pak Nang ketika kami balikin mobil ke rumahnya. Sulay bilang kalau dia bisa pulang sendiri waktu gue mau ngantarin dia pulang pake motor gue. Di teras rumah, tampak Dea lagi duduk sendirian sambil nendang-nendangin batu.

"Dea? Kenapa kamu di luar?"

"Mana boleh aku masuk duluan. Ini, kan bukan rumah aku."

Jam udah nunjukin pukul 11 malam. Keran air mengalir deras di kamar mandi dengan Dea di dalamnya ketika gue mau siap-siap tidur. Walau mata terpejam, 20 menit berlalu dan gue masih belum bisa tidur. Gue masih bingung mau ngajak Vivin jalan-jalan ke mana besok hari.

Apa gue ajak ke tempat pemancingan aja, ya? Atau ke kuburan tempat Kang Terek jualan? Gue bingung! Aha! Gue ini, kan ahli browsing. Kenapa gak gue cari di internet aja? Dalam kamar yang gelap, gue mulai browsing: tempat wisata anak-anak, perkemahan sabtu minggu arti, pengelana alam rimba, cara membawa anak-anak mancing, tempat-tempat yang disukai konglomerat, dan ... seperti biasa gue kesasar ke situs ramalan akhir pekan. Gak ada hasil! Gue jadi ngantuk, dan gue tiba-tiba aja ketiduran.

Pagi hari dengan aroma sedap bunga mawar, gue terbangun karena kaget tiba-tiba ada Dea di sebelah gue! Dia berbaring di sebelah gue, memandangi langit-langit kamar sambil tersenyum. Gue langsung duduk dan siap-siap mau marahin dia yang melanggar peraturan.

"Dea! Aku, kan udah bilang kamu gak boleh ikut tidur di sini!"

"Siapa yang tidur di sini. Aku aja baru masuk, kok. Aku mau bangunin kamu, tapi kamunya kayak udah mati. Jadi aku diam aja di sini,"

"Kamu, kan bisa bangunin pake cara lain! Misalnya pake aroma mie goreng! Aku pasti bangung, kok!"

Dea bangkit dari posisi berbaringnya dan menatap gue.

"Iya maaf. Jangan marahin aku gitu, dong, Do."

Ini, nih! Ini yang gue gak bisa! Ngelihat cewek dengan muka minta maaf.

"Yaudahh. Kita sarapan apa hari ini?"

Ternyata udah ada mie goreng di meja makan! Surga dunia! Berarti ... sebelum Dea masuk ke kamar gue, dia baru aja selesai masak? Sialan! Gue malah marahin dia yang udah capek-capek masak! Gue emang bego! Gue jadi gak enak sama Dea.

Dari sarapan dimulai sampai selesai, kami gak ngomong apa-apa. Dea juga kelihatan murung. Gue masuk ke dalam kamar, ngambil pedang, dan menghunuskannya di hadapan Dea. Gue harus minta maaf dengan cara bertarung.

"Aku minta maaf. Kamu boleh serang aku kapan aja,"

"Gak apa-apa, kok, Do. Emang aku yang salah. Aku gak mau berantem sama kamu,"

"Aku mau tahu, sekuat apa cewek yang berani rebahan di samping aku pagi-pagi."

Beberapa detik kami saling menatap, akhirnya Dea tersenyum kembali.

"Aku juga mau tahu ... sekuat apa cowok yang berani marah-marah sama cewek yang bangunin dia tidur."

Setelah kami tertawa kecil, dengan cepat gue langsung menebas kepala Dea. Dia menunduk dan menghindar lalu memukul perut gue. Sakit! Dea gak ragu-ragu mukul gue! Mungkin karena Dea udah tahu kalau serangan kayak gitu gak akan berpengaruh sama gue, makanya dia cuma senyum. Gue langsung membalas dengan tebasan cepat ke arah tangannya, tapi lagi-lagi dia menghindar.

Dea berputar dan menendang leher gue dengan keras yang untungnya bisa gue tangkis dengan pedang. Dea melompat dan menerjang gue dengan tinjunya, dan saat itulah gue menjatuhkan pedang, menerima pukulannya di pipi kanan gue. Gue lega, akhirnya dia bisa membalas perbuatan buruk gue pagi ini.

"DO! DO! Maaf, Do! Sakit nggak!?"

Dea mengusap-usap pipi gue.

"Maafin aku, ya, Dea. Harusnya aku gak marah-marah sama kamu,"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang