BAB 116: Perjalanan ke Pelabuhan

14 4 0
                                    

Sulay gue bawa ke ruang medis yang saat ini sedang ditangani Kak Kila yang berambut hijau.

“Hmm … aneh. Gak biasanya dia sampai tumbang gini. Apa yang terjadi, sih?”

“D-dia … t-tadi kami dikejar meteor. Gede banget!”

Kak Kila mengangkat sebelah alisnya. Kayaknya dia gak percaya, deh. Lalu, tiba-tiba dia berpose kayak cewek-cewek majalah.

“Kalau ‘meteor’ saya gede nggak?”

“Hah? Oh iya! S-saya harus pergi dulu. Tolong rawat dia, ya, Kak. Haha!”

Gue kabur! Kak Kila makin hari makin bikin merinding! Gue jadi takut kalau ingat dia yang waktu itu terbang dikelilingi bola api. Mendingan gue ke kantin buat makan bubur.

Beberapa langkah sebelum sampai ke pintu kantin, tiba-tiba aja asap hitam pekat yang sebelumnya bikin gue gak kelihatan muncul dengan sendirinya! Eh kampret! Kalau gini, kan gue jadi gak bisa pesan bubur! Sialan!

Bukan cuma enggak bisa dilihat orang, kali ini … gue bisa nembus pintu kaca tebal itu! Gue udah mati atau apa ini? Lalu, di sanalah gue ngelihat suatu pemandangan. Tampak seorang cewek berbaju merah yang sedang duduk dikelilingi cewek-cewek berbaju hitam karyawan kantor ini.

Cewek-cewek itu mengajaknya ngobrol dengan senyum ramah. Dan Dea juga tampak santai. Kayak sekelompok cewek yang lagi ngumpul aja. Gue gak tahu apa yang telah terjadi selagi gue dan Sulay dikejar-kejar meteor tadi.

Gue gak bisa dengar obrolan mereka, tapi gue pastikan dengan sihir biru gue kalau mereka sedang punya perasaan yang hangat. Dea tiba-tiba menoleh ke arah gue. Asap hitam itu sekali lagi pergi begitu aja. Gue ngelihat Dea tersenyum bahagia.

Tiga hari setelah itu, berbeda dengan gue yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper yang gue beli tadi malam, Dea cuma rebahan di kasur sambil terus memandangi speaker bluetooth di tangannya.

“Kotak nyanyi kamu ini kenapa gak mau nyanyi lagi, Do?”

“Ya … ‘kan HP aku lagi gak putar lagu,”

“Emangnya harus dari HP kamu, ya?”

“Iya. Kamu, kok malah santai-santai, sih, Dea!? Kita ini mau berangkat, lho. Naik kapal!”

“Ya, kan tinggal berangkat aja, Do. Kamu, tuh yang kebanyakan bawa baju.”

Gue baru aja memasukkan baju kaos hitam lengan panjang yang ke 13 ke dalam koper berwarna silver. Celana gue belum dimasukkan, tapi koper gue kayak udah mau muntah kekenyangan.

“Ya mau gimana lagi? Kita, kan gak tahu berapa lama di sana. Belum lagi kita harus ganti baju kalau kehujanan, terus bikin mie instan panas-panas biar gak masuk angin. Belum lagi buat tidur.”

Gue menatap Dea yang masih membolak-balikkan speaker bluetooth itu.

“Emang kamu gak masalah tidur pakai baju kayak gitu?”

“Kalau tidur, kan aku gak pakai baju,”

“Hah!?”

“Emang kenapa, Do?”

“Y-ya mana ada o-orang yang lepas baju kalau t-tidur!”

“Banyak, kok. Eh, lagian, nih, ya … kalau tidur itu, kan kita gak sadar dan gak bisa ngelihat diri kita sendiri juga. Nah, baju itu, kan biar kita bagus ngelihat diri kita sendiri. Buat apa pakai baju?”

“Logika macam apa itu, Dea!? Gini, deh. Terserah kamu mau pakai baju atau enggak pas lagi tidur. Yang penting kamu harus pastikan gak ada seorangpun yang ngelihat kamu gak pakai baju. Oke?”

“Oke, oke. Kapan berangkatnya, sih? Aku jadi ngantuk.”

Dea meletakkan speaker bluetooth gue. Lalu … dia mulai melepas kancing bajunya sambil tersenyum menatap gue.

“Woy! Woy! Dea! Stop!”

Dea ketawa lalu bangkit dari kasur.

“Itu tadi namanya bercanda, kan, Do?”

“I-iya, iya. Nih, aku udah kurangin pakaian aku. Kamu mau masukin apa?”

“Bentar.”

Dea keluar kamar, balik-balik udah membawa banyak banget peralatan make up yang satupun gue gak paham.

“Muat, kan? Dan satu lagi. Aku mau bawa kotak nyanyi itu.”

Ketika gue memutuskan aliran listrik di rumah dan mengunci pintu, Dea dan Pak Nang sedang ngobrol di samping mobil. Dea itu kalau ngobrol sama bapak-bapak, kelihatan kayak cewek pemalu. Dia banyak menunduk sambil tersenyum. Beda banget waktu gue ngelihat dia ngobrol sama Si Bos waktu itu.

“Beres, Do? Siap berangkat kita?”

“Beres, Pak. Motor saya taruh di teras aja, ya,”

“Gak masalah, Do. Kampung kita ini aman, kok.”

Gue duduk di depan, menemani Pak Nang yang udah berbaik hati mau mengantarkan kami ke pelabuhan. Rasanya udah lama juga gue gak ketemu beliau. Dea duduk di tengah sendirian sambil memperhatikan jalanan di kiri-kanan.

Hampir 2 jam di perjalanan yang diisi dengan cerita kecintaan Pak Nang terhadap samurai, di belakang, Dea tampak ketiduran.

“Ya namanya anak muda, Do … pasti nyari-nyari hobi, kan. Cuma kebetulan hobi saya agak beda aja,”

“Tapi Pak Nang pernah berantem pakai pedang beneran nggak, Pak?”

“Oh jangan salah, Do. Justru saya belajar berpedang itu buat menghindari berantem sama orang. Karena prinsip samurai yang saya tangkap adalah: ketika pedang telah dihunuskan, pantang disarungi sebelum terkena darah. Gitu, Do. Itu yang saya dengar di sandiwara radio kungfu waktu saya masih anak-anak dulu.”

Pak Nang kayaknya ngantuk, Deh. Lalu, sampailah kami di pelabuhan untuk berangkat menuju Desa Suka Ceria yang berada di luar pulau. Dari hasil browsing gue tentang: kenapa kapal mengapung, nelayan makmur ikan subur, kelautan maritim, jarak pulau-pulau dunia, dan cara mengatasi mabuk laut, gue mendapatkan informasi bahwa gue dan Dea akan menghabiskan waktu 15 jam di atas kapal.

“Cewekmu gak dibangunin dulu, Do? Takutnya dia mabuk laut, lho kalau naik kapal saat ngantuk.”

Gak perlu dibangunin, Dea udah memasang senyum gembira waktu ngelihat banyak orang bawa-bawa tas gede. Kami bertiga turun dari mobil. Pak Nang membantu nurunin koper gue.

“Maaf, ya Do saya cuma bisa ngantar sampai sini. Gak bisa berenang soalnya. Hahaha,”

“Sama, Pak, saya juga gak bisa berenang. Hahaha. Terima kasih, ya, Pak. Maaf ngerepotin.”

Pak Nang menjabat tangan gue.

“Kalau pulang kabarin saya aja, Do. Nanti saya jemput di sini.”

Pak Nang kemudian menghadap Dea.

“Mbak Dea, saya titip Mardo, ya. Walaupun dia ini kurus, sebenarnya makannya banyak.”

Dea menyalami Pak Nang.

“Iya, Pak. Terima kasih, ya.”

Gue menyeret koper dengan gugup. Pertama, ini adalah pelayaran pertama gue. Kedua, gue gak bisa berenang. Ketiga, gue gak ngerti caranya bepergian naik kapal. Maksud gue, gue gak tahu harus ke mana, harus ngomong sama siapa, harus beli apa bayar apa. Gue gak tahu apa-apa.

“Waaaaah lihat, Do! Banyak air!”

“Ya namanya juga laut, Dea … pasti banyak airnya,”

“Oh laut itu begini, ya? Terus mana putri duyungnya?”

Gue yang linglung jadi gak begitu fokus sama pertanyaan Dea. Gue cuma garuk-garuk kepala sambil ngikutin orang-orang jalan.

“Lama banget kalian! Kapalnya udah mau berlayar, tuh! Cepetan sini ikutin gue!”

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang