Segumpal asap hitam keluar dari salah satu mesin yang mengeluarkan bunyi berisik. Tak lama, mesin-mesin lainnya juga ikutan dan membawa asap hitam itu menuju Naya yang berdiri di hadapan Dea.
Ketika Naya diselimuti asap hitam, Dea mengeluarkan sepasang tanduk di kepalanya. Tanduk yang sama ketika di wahana rumah hantu saat itu. Sepasang tanduk merah berbentuk tangkai mawar.
“Aku, kan udah bilang … kami cuma ingin bicara,” ucap Dea.
Ketika Naya terselimuti asap hitam sepenuhnya, barulah gue menyadari bahwa dia nggak mungkin Naya. Kenapa? Karena Naya punya penyakit asma. Kena asap sate aja dia udah batuk-batuk. Masa iya dia masih bisa berdiri tenang walau udah jadi knalpot racing!?
Gue baru bisa ngambil pedang gue lagi ketika Naya Knalpot dan Dea tiba-tiba beradu kaki! Asap merah Dea beterbangan layaknya kelopak bunga mawar yang tertiup angin balapan liar. Gue melompat dari persembunyian dan langsung menebasnya. Strike! Kena!
Dia terpukul mundur sampai nabrak beberapa kabel. Dan tentu aja, muncul percikan api di mana-mana. Kacau! Lampu mulai padam seiring suara teriakan orang-orang di atas sana.
“Kamu bisa urus kapal ini, kan, Do? Biar aku yang urus dia,”
“B-bentar, D-dea—”
Dea udah hilang di dalam kegelapan. Gue cuma bergantung sama insting dari sihir biru di kedua pundak yang menuntun gue berjalan ke celah-celah kecil, menuju hawa panas yang gue duga berasal dari kabel hangus.
Tampak kilauan-kilauan merah yang melesat di kegelapan, pertanda Dea yang sibuk mengejar Naya palsu tadi. Dan gue yang gak ngerti apa-apa soal mesin kapal dan kabel gosong, tentu aja kebingungan.
Bentar! Kenapa gue bisa lupa sama skill tingkat tinggi yang gue punya selama ini!? Browsing internet! Gue segera membuka HP dan browsing: tolong ini gelap, cara menghidupkan kapal laut, tutorial mengatasi kabel bocor, di kapal, langkah+langkah perbaikan kapal, kabel meledak.
“Awas, Do!”
Tiba-tiba aja gue terpukul sesuatu! Gue terdorong ke sisi paling sempit dan HP gue jatuh entah ke mana! Kampret! Gue, kan belum selesai baca semuanya! Belum sempat gue berdiri, sihir biru membuat semuanya tampak melambat, terutama ketika sepasang mata berwarna kuning melesat ke arah gue.
Gue menangkisnya dengan pedang sampai gue menyadari bahwa gue sedang menahan sepasang taring panjang! Ya walaupun gak sepanjang Roksi, sih. Tapi tetap aja! Dua taring itu terus mendorong gue sampai mentok.
“Nunduk, Do!”
Dari belakang, Dea melesat dan menendang makhluk itu. Sialnya, dia sempat melompat ke atas dan kaki Dea cuma mendarat di atas kepala gue. Kalau aja gue gak nunduk, muka gue udah pasti bonyok.
“I-itu m-makhluk a-apaan, Dea!?”
“Itu spirit yang tadi, Do! Dia bisa berubah-ubah bentuk! Gimana!? Kapal ini udah kamu nyalain lagi nggak?”
Gue langsung buru-buru mikir: gimana caranya nyalain kapal mati? Aha! Tentu aja dengan dihidupin! Itu dia!
“Oke, Dea! Aku udah tahu caranya! Tapi tolong jauhin dia, ya,”
“Oke, Do. Let's go!”
Let's go!? Dea belajar kata-kata kayak gitu dari mana, sih? Gak penting. Sekarang gue harus nyalain lampu dulu. Setahu gue, seringkali saklar lampu itu ada di dinding atau ketinggian. Gue gak bisa ngelihat banyak, tapi tadi gue ngelihat pergerakan Dea karena pakai baju merah.
Maka dari itu, gue mengeluarkan asap merah yang gue niatkan buat nyari saklar lampu atau apapun itu yang bikin lampu nyala. Segumpal asap merah itu membentuk tanda panah, persis ketika gue nyari pedang di tiang listrik.
Waktu gue berjalan perlahan mengikuti asap merah itu, dari atas, gue merasa ada yang mengincar gue. Benar aja, spirit bertaring tadi tiba-tiba menjatuhkan diri dan mau menindih gue! Untungnya, sesuai kalimat “let's go” yang tadi diucapkan Dea, dia benar-benar menjauhkan spirit itu dari gue.
Dea menanduknya dan membawanya terbang menjauh, membuat gue bisa kembali fokus ngikutin tanda panah merah. Dia membawa gue ke sebuah kotak besi besar yang panas. Karena takut kesetrum, gue coba membuka kotak itu dengan sarung pedang yang gue yakini terbuat dari kayu. Berhasil.
“Oke asap, sekarang gue mau nyalain lampu. Gimana caranya?”
Asap merah itu menuntun gue untuk menaik-turunkan banyak tuas kecil di dalam kotak. Dan … semua lampu menyala! Haha! Gue udah jadi insinyur listrik! Karena penglihatan gue udah kembali, gue bisa ngelihat mesin-mesin yang tampak mati dan penyok karena terkena serangan gue sebelumnya.
“Oke asap, sekarang gue mau kapal ini bisa berlayar lagi. Gimana caranya?”
Lagi-lagi, gue ngikutin ke mana asap merah itu melayang. Dia membuat gue bisa menekan tombol-tombol pada urutan yang benar sampai akhirnya … suara berisik kembali terdengar! Bahkan lebih berisik dari sebelumnya! Berisik artinya nyala, kan?
Gue menggunakan sihir biru buat nyari keberadaan Dea. Terasa … jauh banget. Buset! Di mana dia!? Gue segera mencari jalan menuju ke atas setelah yakin kalau kapal ini udah kembali normal. Kalau aja gue bisa nembus kayak sebelumnya, pasti gampang banget. Sayangnya gue gak tahu caranya.
“Oke asap, cariin gue jalan buat ke atas!”
Panah merah itu melayang dan menembus langit-langit. Sangat simpel sekali caranya untuk gue yang cuma bisa menganga. Kalau udah gini, mau gak mau gue akan menggunakan cara normal: nyari tangga.
Setelah berjalan-jalan, gue ngelihat sebuah tangga berwarna putih di pojok ruangan. Butuh 5 menit buat gue bisa sampai ke permukaan dan menyadari kalau gue ada di bagian paling belakang kapal.
Di bawah, gue ngelihat ombak terbelah yang meninggalkan bulan di atas sana. Ya. Kapal ini udah berlayar lagi. Gue memejamkan mata dan mencoba nyari keberadaan Dea. Gue merasakan napasnya yang tipis dan jauh.
Gue berlari kecil menuju tempat semula buat nyari Sulay. Langkah gue terhenti dan mata gue terbuka lebar ketika semua sorot mata itu terpaku ke arah gue. Sorot mata dari orang-orang bule yang sedang makan-makan santai. Ke mana orang-orang panik yang tadi memakai pelampung!?
“Sir?” ucap seorang pria terdekat yang sedang memotong telur dadar.
“M-mohon sorry, Pak. S-saya Mardo, b-bukan Yasir. S-sulay m-mana, Sulay? Haha.”
Mereka malah tampak semakin bingung. Gue memperhatikan sekeliling, dan emang semuanya tampak beda! Terutama bagian dek kapal ini, di mana sekarang lebih mirip restoran mengapung dengan meja dan payung-payung kecil.
Seorang pria tinggi yang kayaknya bukan bule berjalan ke arah gue. Dari pakaiannya, sih mirip sama petugas yang sebelumnya. Mungkin aja dia tahu sesuatu. Semakin dekat, semakin terlihat kalau dia tampak berbicara dengan radio di kantong kiri bajunya. Perasaan gue jadi gak enak.
“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Sir?” ucapnya.
“Y-ya ada yang di-di-di bantu. T-tapi s-saya Mardo, Pak, b-bukan Yasir.”
Tiba-tiba, asap biru gue bereaksi dan gue bisa merasakan keberadaan Sulay. Gue memejamkan mata kiri buat ngelihat jauh ke depan melalui samping leher pria di depan gue. Gue ngelihat … sebuah kapal yang menurunkan sekocinya dan Sulay yang berdiri dengan kuda-kuda siap meninju.
Radio di saku baju pria itu berbunyi. Terdengar suara seseorang.
“Kembali ke posisi masing-masing.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...