BAB 58: Sebuah Warna

54 8 0
                                    

Di bawah tenda, kami berdua duduk berhadapan menunggu sate yang lagi dibakar. Cewek berambut merah tadi kembali ke tempatnya semula yang sibuk sama hpnya. Gue lagi bengong aja ketika tukang sate di depan tiba-tiba bersuara keras sambil ketawa-ketawa.

"Halo, guys ... kembali lagi dengan Kali di sini. Nah, sore ini seperti biasa, gue cuma bakar-bakar aja. Oke, guys? Jangan lupa mandi, ya ... salam kipas-kipas."

Waktu gue perhatiin, tenyata dia lagi bikin video. Entah buat Instastory atau buat ngusir hama padi, gue juga gak tahu. Untungnya setelah itu dia langsung bawain kami sate yang masih berasap itu.

"Selamat menikmati," ucapnya.

Dea makan sate kambing dengan lahap. Mungkin kalau malam hari Dea datang ke tempat ini lagi memakai baju putih, pasti dia akan disangka Suzana yang ada di film hantu zaman dulu itu. Gue gak pernah ngelihat Dea makan kayak gini. Soalnya ini juga kali pertama gue ngelihat dia makan sate.

"Kenapa, Do? kamu gak suka sate, ya?"

"Enggak ... bukan gitu ... a-aku ... senang aja ngelihat kamu makan."

Dengan setitik noda bumbu kacang di samping bibirnya, Dea tersenyum.\

"Kalau aku makan tukang satenya gimana? Kamu suka juga?"

Eh buset! Jadi serem!

"Wey ...! ngawur! Mana boleh gitu!"

Dea senyum-senyum lalu menatap tukang sate yang masih sibuk itu. Dia lalu menatap gue dengan menyipitkan matanya. Seakan mau bilang: "tukang sate dulu, baru lo berikutnya! hahahahaha!"

"Dea! Apaan, sih! Serem,tahu!"

Dea ketawa puas banget.

"Iya, iya ... maaf."

Kami menghabiskan senja di tempat itu sambil menikmati sate kambing. Seiring menghitamnya langit di atas sana, semakin banyak kelihatan hantu-hantu yang berkeliaran. Gak heran, tepat di belakang kami adalah pemakaman. Yang lucu adalah, sebenarnya banyak hantu-hantu iseng yang pengin ke tempat kami.

Mungkin mereka tertarik sama sate, atau tukang satenya yang hobi senyum lebar itu, gue juga gak tahu. Yang pasti banyak dari mereka yang mendekat. Dan ketika ngelihat kami yang duduk sambil merhatiin, mereka langsung kabur! Kalau yang bentukannya masih normal, artinya bentuknya kayak manusia, mereka akan kabur kayak maling yang ketahuan beraksi.

Nah, yang bentukannya semacam sosok guling meloncat inilah yang bikin ngakak. Dia udah berusaha mendekat loncat-loncat, begitu ngelihat kami dia meloncat mundur, dong! Harusnya, sih dia pakai kaca spion biar gak nabrak, ya. Pokoknya, aneh-aneh, deh semakin malam di sini.

"Udah kenyang?" tanya gue.

Dea mengangguk, tersenyum sambil membersihkan bibirnya dengan tissue.

"Pulang, yuk."

Di rumah, malam hari dengan secangkir kopi di tangan kanan, gue duduk sendirian di teras rumah. Lagi ngelamun aja. Suara air di kamar mandi mungkin pertanda kalau Dea lagi di dalamnya. Karena udah gak ada pohon mangga lagi, langit di atas gue terasa lebih lapang dari biasanya. Gue seakan sedang berpandanga dengan bintang-bintang.

Gue membayangkan, gimana jadinya alien-alien yang menahan Keyla tiba-tiba turun dari langit, menyerang segala hal sedangkan gue cuma punya sebilah pedang patah. Ngeri banget. Makanya, gue harus sesegera mungkin buat memperbaiki pedang gue ini. Atau gue harus menemukan pedang baru, gak ada masalah.

Suara keran air menghilang, suasana menjadi senyap ketika tercium aroma bunga mawar dari belakang gue. Sebelum gue menoleh, gue merasakan sentuhan kecil di punggung gue.

"D-dea!?"

Dea berdiri di depan gue, senyum-senyum sambil berputar badan.

"Gimana, Do? bagus nggak?"

Dea emang identik banget sama warna merah, sih ... tapi....

"K-kenapa!? M-maksud a-aku k-kenapa r-rambut kamu!?"

Dengan rambut yang entah kenapa sekarang berwarna merah itu, dia ketawa ngelihat gue yang keheranan.

"Kenapa, Do? jelek, ya?"

"I-iya ... kamu jadi k-kayak buah cabe."

Dia lalu cemberut, melangkah ke teras lalu terduduk di sebelah gue.

"Ada apa, sih, Dea? Kok tiba-tiba warnain rambut?"

"Aku pikir kamu suka,"

"Kenapa kamu bisa mikir aku suka?"

"Soalnya tadi waktu makan sate kamu ngelihatin cewek itu terus."

Waduh! Bisa kacau, nih!

"M-mana ada aku ngelihatin d-dia terus."

Dea menoleh, menatap gue sambil tetap cemberut.

"Iya! Kamu ngelihatin dia! Dua kali,"

"Hah!? Dua kali!?"

"Iya! Waktu dia tanya pesanan kita, sama waktu kamu bayar. Dua kali, kan?"

Gue menepuk dahi. Sebenarnya gue pengin ketawa, tapi masih gue tahan.

"Gini, ya ... Dea..."

"Jadi kamu gak suka, ya rambut aku begini?"

"Kamu lebih cocok rambut hitam aja, sih menurut aku,"

"Oke, deh. Aku ganti lagi."

Sebelum kembali ke kamar mandi, dia tersenyum manis. Untung aja dia gak marah-marah. Dan untung aja dia salah menghitung. Sebenarnya gue ngelihatin cewek tadi tiga kali. Hahaha. Pada cangkir kopi setengah terisi, gue membaca sebuah berita dari aplikasi kantor yang menurut gue menarik dan berbahaya.

Seperti gue bilang sebelumnya, sebenarnya banyak berita di aplikasi ini yang menurut gue biasa aja. Dan kali ini, gue membaca berita yang unik. Tertulis di sana bahwa pelapor sering kehilangan uang di mesin kasir secara misterius. Dan keputusannya menulis berita itu adalah setelah dia yakin bahwa bukan manusia pelakunya.

Semakin gue baca, semakin gue yakin kalau pelapor ada hubungannya sama tukang sate kambing yang tadi! Artinya: mungkin aja gerobak sate itu yang lagi digangguin sama maling! Benar juga! Waktu kami makan di sana gue juga ngelihat kalau tempat itu disukai hantu-hantu. Dan ... bisa aja mereka juga suka sama uang selain sate kambing! Aha!

Tentu aja gue bersiap-siap buat pergi ke tempat tadi. Tapi, apa gue harus bilang dulu sama Dea, ya? Bukannya apa-apa, nanti gue malah dituduh mau ketemu sama cewek rambut merah itu! Tapi kalau gue gak bilang sama dia, bisa-bisa gue dimakan sama Dea! Aduh!

"Gimana, Do?" Dea tiba-tiba ada di belakang gue.

"Nah! Ini baru Dea yang aku kenal."

Dea tersenyum gembira.

"Mau ke mana?"

"Ini ... ada laporan orang kehilangan uang. Aku mau ngecek ke sana langsung,"

"Ikut...."

Sesampainya di sana, sebelum Dea mulai cemberut dan bisa aja marah-marah, gue segera menggandeng tangannya menuju tukang sate yang tadi. Lagi gak ada pelanggan satupun, cuma Kang Terek penjual es krim yang terduduk di sebuah kursi. Cowok tukang sate dan cewek berambut merah berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.

"Maaf, guys ... tapi kami sudah tutup," kata cowok berkulit gelap itu.

"Oh, enggak ... kami bukan mau makan. Tadi saya dapat laporan kalau ada yang kehilangan uang secara misterius."

Kang Terek mengusap wajahnya yang layu sebelum mengangkat suara.

"Iya, Mas. Tega banget yang ngambil uang hasil dagangan es krim saya. Bukan cuma sekali ini, lho kejadiannya."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang