POV Mardo tentang Kemerdekaan
Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79
Gue itu miskin sejak lahir. Gue gak punya ingatan soal makan tiga menu berbeda dalam satu hari kecuali gue sedang ada di acara makan-makan. Itupun kalau gue diundang.
Sekarang usia gue 23 tahun dan anehnya, selama ini gue selalu merayakan dan bergembira setiap ‘17-an’. Padahal kalau dipikir-pikir, gue sebenarnya merdeka nggak, sih? Merdeka itu apaan, sih?
Menurut gue, negeri ini mungkin merdeka. Tapi hidup gue belum.
***
“WHAT!?”
Kok Sulay ada di sana!? Maksud gue … gue ada di mana ini!? Waktu gue lagi bingung-bingungnya, pria di depan gue malah ninggalin dan berlari ke depan. Gue juga ikutan, dong.
Kalau dilihat dari mata normal, masih ada jarak kira-kira 500 meter sebelum dua kapal ini tabrakan. Gue gak ngerti soal kapal sama sekali, tapi masa iya gak bisa belok, sih? Terus kenapa baru sadar sekarang? Emang sopirnya ketiduran, ya?
Orang-orang bule yang lagi makan sontak heboh dan panik. Walaupun gue lapar dan ada celah buat ngambil telur dadar mereka, tapi gue lebih memilih buat berlari ke pojokan dan segera menelpon Sulay.
“Pak! Pak! Dengerin gue, Pak!”
“Lo ngapain aja, sih!? Kenapa belum beres juga!?”
“Dengerin gue dulu, Pak! G-gini, gini … gue nyasar ke kapal ini! Tolongin gue, Pak!”
“Hah!? Nyasar gimana!?”
Gue berhenti ngomong ketika menengadah ke langit, ke tempat di mana hawa keberadaan Dea terasa pekat di antara awan kelabu langit malam. Gue butuh sihir merah muda buat mendapati sebuah penampakan yang bikin gue mematikan telepon.
Di atas sana, sedang terbang sesosok makhluk bersayap di antara dua kapal. Tubuhnya berwarna cokelat dengan bola mata kuning terang. Kepakan sayapnya yang terburu-buru membuat gue yakin kalau itu adalah seekor kelelawar. Lebih tepatnya, seekor kelelawar yang mempunyai rambut panjang seukuran manusia.
Dia gak menuju ke arah gue ataupun ke arah Sulay. Bahkan gue ragu dia menyadari kalau gue sedang memperhatikannya. Dia tampak … menghindari sesuatu. Sesuatu yang mengejarnya dengan kecepatan tinggi. Saking cepatnya, tubuhnya tampak nge-blur. Mata gue mungkin tertinggal, tapi perasaan gue gak akan salah. Itu pasti Dea.
Dea terus mengejarnya sampai gue ngerti kenapa hawa keberadaannya susah dirasakan. Dea beneran menjauhkan spirit itu dari gue tapi gue malah nyasar ke kapal yang mau nabrak kapal kami. Bentar, bentar. Tadi, kan gue udah berhasil nyalain lampu dan nyalain mesin? Emang belum cukup, ya?
Kalau aja gue bisa pakai sihir hijau, gue mungkin bisa berpindah ke tempat Sulay. Sialan! Tapi daripada gue marah-marah sama hal yang gue gak bisa, mendingan gue nyari cara lain. Gue berjalan menghampiri petugas kapal yang tadi.
“M-mohon maaf, Pak. I-ini kita mau tabrakan, ya?”
Dia menatap gue lalu menatap orang-orang bule di belakangnya.
“Tidak akan, Sir. Aman.”
Dia kemudian pergi masuk ke dalam. Meninggalkan kami yang mulai bisa ngelihat kapal-kapal kecil yang bergerak menjauhi kapal Sulay. Anehnya, gue gak ngerasa kapal ini berbelok sama sekali! Bahkan gue rasa kapal ini gak ngurangin kecepatannya. Apa kapal laut gak punya rem, ya?
Gue ngelihat Sulay berlutut waktu memukul lantai kapal dengan tangan kanannya. Gue udah tahu dia mau ngapain, tapi gak tahu apakah ini akan berhasil atau enggak. Dia memunculkan sepasang tangan raksasa dari asap hitam di dinding luar kapal. Seperti penjaga gawang yang siap menangkap bola dari tendangan penalti.
Dan artinya, gue harus mikirin orang-orang di kapal ini. Bentar! Kenapa jadi tugas gue!? Harusnya, kan para petugas segera menyuruh mereka pergi pakai sekoci? Gue berlari ke samping dan mencari-cari letak sekoci yang digantung. Gak ada satupun yang gue lihat di dinding.
Tapi, dengan kombinasi sihir biru dan merah muda, gue bisa nemuin dua sekoci yang … udah mengapung di laut lepas dan menjauh. Gue ngelihat pria tadi sedang mendayung dengan serius. Eh buset!
Tampak dua sekoci berwarna putih yang masing-masing diisi tiga orang dengan pakaian sama. Kalau gue boleh berasumsi liar, mungkin mereka adalah petugas kapal yang kabur duluan buat nyelamatin diri sendiri. Eh kampret! Kami gimana ini!?
Gue harus mikir cepat, nih! Gue berlari ke pojokan tempat tersepi dan langsung jongkok di sebelah bak sampah. Gue memejamkan mata dan teringat situasi di mana gue ditangkap Heshita pertama kali. Waktu itu, gue bisa mendengar bisikan Dea di kepala gue. Gau mau coba hal yang sama.
“Dea! Dea! Halo, Dea! Dea! Kamu bisa dengar gak, sih!?”
Gak terjadi apa-apa. Bahkan saat ini, hawa keberadaannya gak bisa gue lacak. Suara teriakan orang-orang membuat gue segera berdiri, menyaksikan benturan yang akan terjadi sebentar lagi. Kalau udah gini, maka gue akan pakai cara terakhir: melompat ke laut bersama bule-bule itu.
“Semuanya! Listen to me!”
Mereka menoleh menatap gue yang berlari ke arah mereka.
“G-gini, gini … help me together … jump … we are … water. Yeah! Water, yes! Understand!?”
Orang-orang bule itu malah berteriak. Tiba-tiba gue menggigil dan dengan cepat seluruh tubuh gue mengeluarkan asap biru! Semua yang gue lihat tampak diam membeku! Bahkan gak ada suara apapun! Ini apaan, woy!?
Gue menoleh kiri-kanan sambil berjalan ke depan. Kurang dari 100 meter lagi, Sulay akan berusaha menahan tabrakan kapal ini. Tapi entah kenapa, gue rasa itu bukan cara yang paling aman. Soalnya, dengan kecepatan segini ditambah beratnya bobot kapal dan arus laut, kapal ini bisa aja patah! Gue emang gak jago fisika, tapi … bisa mikir gini aja gue udah merasa setara ilmuwan!
Gue harus mikir cepat karena gue gak tahu kapan waktu berjalan normal kembali. Bentar. Daripada ribet mikirin buat menahan kapal, kenapa gak mikirin buat dorong kapal yang mau ditabrak aja? Benar juga! Tapi gimana caranya!?
Gue menggunakan sihir merah muda dan … gue ngelihat suatu pemandangan paling aneh. Kapal yang tadi kami naiki yang katanya gak bisa berlayar karena gangguan spirit, kenapa malah menjatuhkan jangkar? Ditambah lagi, jangkar itu tampak tersembunyi di belakang kapal.
Ini aneh banget, tapi gue udah tahu harus ngapain. Gue mengangkat tangan kiri dan memanggil Roksi dari asap merah. Gue akan menebas putus rantai jangkar itu walaupun gue gak yakin ini akan berhasil. Soalnya, bisa jadi tebasan gue gak sampai, atau tebasan gue kurang kuat buat menembus air. Atau yang paling sinting, bisa jadi tebasan gue malah merusak kapal dan gue harus ganti rugi atau malah dipenjara.
Gue menghunuskan pedang dan mengambil posisi menebas sebaik yang gue bisa. Gue mengunci pandangan di satu titik di bawah air, sedikit lebih rendah dari bagian paling bawah kapal. Gue mencoba menggunakan sihir hijau dan membuat titik waktu, tapi gak berhasil karena penciuman gue bermasalah. Kalau aja bisa, tebasan gue akan lebih terarah dan gak perlu merambat di udara. Persis waktu gue menebas paha monyet hijau raksasa itu.
“Rumryaku!”
Gue menebas sekuat mungkin! Ketika gue menyaksikan gelombang kejut gue yang gak sesuai harapan, gue rasa gue akan gagal, deh. Soalnya, tebasan gue gak bercampur asap hijau. Iya juga, ya! Gue, kan lagi gak bisa pakai sihir hijau! Aduh kacau!
Gue mengirim gelombang kejut berasap merah doang yang melesat dan membelah permukaan air laut. Udah gue duga. Tebasan gue gak bisa menembus ke dalam air. Eh bentar! Gue masih punya waktu menebas sekali lagi mumpung gue bisa ngelihat rantai itu! Nah ini dia!
Gue baru berpose, tapi waktu udah berjalan normal kembali. Gue mendengar suara gesekan pedang di antara teriakan orang-orang.
30 detik menuju tabrakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...