BAB 23: Dea dan Perasaannya

72 12 1
                                    

Mendekati jam 12, gue dan Mery turun dari rooftop. Kami berpisah di lorong. Mery kembali ke kantin dan gue keluar kantor. Di perjalanan pulang, menembus dinginnya angin malam ini, gue teringat perbincangan dengan Mery 10 menit sebelum memutuskan buat turun.

"Do. Lo mau nggak, jadi orang yang gue pikirin setiap saat?" tanya Mery sambil memegangi gagang kacamatanya.

"K-kenapa lo t-tanya itu?"

"Ya ... gue pengin tahu jawaban lo,"

"B-boleh aja, sih kalau lo m-mau."

Sampailah gue di depan rumah. Tertempel sebuah kertas di jendela. Dituliskan di sana bahwa layanan air bersih gue udah kembali karena udah dibayar. Siapa yang bayar!? Semua lampu ruangan udah menyala waktu gue masuk. Dinding gosong dapur gue udah kembali normal. Dan aroma mawar benar-benar mengisi seluruh ruangan.

Gue membuka pintu kamar, gak ada siapa-siapa ketika gue melihat kamar jadi rapi dan bersih. Apa semua ini kerjaan Dea, ya? Gue menaruh pedang dan berkas Dea di atas meja laptop lalu gue mandi. Di antara suara keran air, gue mendengar sayup suara kompor di dapur.

Berdirilah sosok cewek berbaju merah di depan kompor sambil memasak sesuatu. Dia menoleh ke arah gue yang baru selesai mandi.

"Kenapa malam banget, Do?"

"I-iya ... ada lembur dikit tadi."

Gue menengok, mencari tahu apa yang sedang dia masak.

"Kamu masak mie goreng?"

Dea mengangguk. Gue membantunya menyiapkan piring dan peralatan makan lainnya. Gue mencuri pandang di sela kesibukan itu. Walau dia ini bukan manusia, tapi apa iya dia jadi masalah bagi kantor gue? kalau dilihat gini, mana ada orang yang bisa tahu kalau dia ini bukan orang.

"Kenapa, Do?" tanya Dea.

"Enggak ... lapar aja."

Dan sekarang di depan kami telah terhidang dua piring mie goreng tengah malam bikinan jin. Agak aneh untuk dipikirin, tapi gak masalah bagi gue daripada tidur kelaparan.

"Enak nggak, Do?"

"Enak banget!"

Dea tersenyum lalu berubah menjadi asap merah. Dia masuk ke kamar gue, dan kembali sambil membawa berkas itu.

"Kamu udah baca semua?"

Gue kaget banget. Agak takut juga.

"B-belum. Cuma baca dikit t-tadi."

Dea tersenyum lagi.

"Nanti kita baca. Makan dulu aja."

Perasaan gue jadi gak enak. Tiga puluh menit sebelum jam dua pagi, gue dan Dea duduk berhadapan di atas kasur. Di depan kami, berkas bersampul merah itu masih tergeletak gitu aja.

"Kan udah aku bilang, kamu gak boleh ikut masuk ke kamar,"

"Aku, kan gak ikut tidur. Lagian di luar dingin."

Dea meraih berkas itu, membuka halaman utamanya lalu melirik gue.

"Ratu Merah: Entitas Berbahaya yang Melegenda. Keren juga judulnya."

Gue menarik selimut perlahan. Takut.

"Jenis: spirit humanoid. Kekuatan khusus: tidak diketahui. Tingkat waspada: berbahaya."

Dea menatap gue yang melirik ke arah pedang di meja.

"Do,"

"I-iya ... kenapa, Dea?"

"Coba tatap mata aku, deh."

Gawat! Gue pasti mau dihipnotis, nih. Habis ini dia pasti bawa kabur kulkas gue!

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang