"Apaan, sih. Lo kali yang tambah cantik. Eh, mana cowok lo itu?" tanya Mery.
"Biasa ... sibuk. Makanya gue sendirian ke sini."
Rava dan Anto yang sebelumnya udah terlanjur nerbangin drone lagi gara-gara permintaan Mery, berjalan-jalan buat ngambil footage video. Gue yang masih gak tahu mau ngapain, duduk aja ngelihatin Mery dan Nita yang lagi ngobrol. Kalau dilhat-lihat, mereka berdua agak mirip.
"Vivin di mana, Do?" tanya Nita.
"E-enggak tahu. Sejak hari itu dia gak pernah kelihatan lagi."
Ketika beberapa cowok datang buat beli kopi, Nita duduk di sebelah gue saat Mery lagi sibuk.
"Lihat, deh, Do. Pasti mereka mau kenalan sama Mery,"
"M-masa, sih?"
Emang, sih ... cowok-cowok itu berusaha ngajak ngobrol Mery.
"B-bukannya itu wajar, ya? Maksud gue ... mereka, kan emang harus ngomong kalau mau pesan kopi?"
"Ya emang awalnya pesan kopi doang. Tapi nanti, kan dia bisa aja ngirimin pesan singkat? Terus mereka WhatsApp-an siang-malam, jalan-jalan, terus mereka pacaran. Wajar, dong?"
"T-tunggu! G-gimana, gimana!?"
Dua dari lima cowok ngajak ngobrol Mery yang lagi bikin kopi. Dua-duanya disenyumin doang anjir! Gue memakai sihir biru gue buat mencoba lebih peka terhadap keadaan sekitar. Gue mendengar detak jantung Mery yang biasa aja walau digombalin dua cowok berkulit bersih itu. Buset! Apa itu artinya Mery sakit jantung!?
Karena lagi ngaktifin sihir biru, tiba-tiba aja gue ngerasa keberadaan Dea yang mendekat! Apa Dea lagi menuju ke sini, ya? Gue tambah yakin waktu ngelihat Torgol beserta Mizi yang mulai bergerak menyebar dengan cepat. Waduh! Bisa kacau, nih!
"Sorry, gue ke sana dulu, ya,"
"Iya, Do," sahut Nita.
Gue yakin Dea akan langsung menuju posisi gue. Makanya, gue segera menjauh dari keramaian dan berlari ke sebelah parkiran yang berupa bengkel motor lagi tutup. Benar aja! Dari langit yang menguning, meluncur dengan cepat asap merah yang diikuti banyak asap putih!
Asap-asap itu jatuh ke depan gue, melebur dan mewujud dengan cepat. Dea berdiri di depan gue, tersenyum sambil membenarkan poninya. Lalu di sebelah kanannya, Kikuem yang bertubuh ramping dan tinggi itu menundukkan kepala seakan menyapa gue.
"Di mana rumah hantunya, Do?" tanya Dea.
"Dea!? K-kenapa kamu bawa c-cewek putih sebanyak i-ini!?"
"Maaf, Mardo. Ini usul dari saya. Saya tidak bisa membiarkan Ratu bepergian sendirian ke daerah berbahaya," sahut Kikuem.
"Maaf, ya, Do. Ayo kita ke sana! Kayaknya banyak yang bisa dimakan,"
"T-tunggu, Dea! Aku percaya kamu gak akan bikin keributan di sana ... tapi gimana kalau untuk sementara kamu menyamar aja?"
"Menyamar?"
Gue mengeluarkan masker hitam yang masih baru dari saku celana gue. Gue dapat masker ini waktu tadi di kantor, sekalian ngambil tissue buat bersihin pedang gue. Karena ditulis gratis makanya gue ambil aja. Walaupun gue gak tahu buat apaan. Ternyata ada gunanya juga.
"Ini. Pakai ini. Jangan pernah dibuka. Oke, Dea?"
Setelah Dea memakainya, gue gak bisa dengar Dea ngasih perintah apa ke Kikuem dan teman-temannya sampai mereka tiba-tiba menghilang. Gue ngelihatin Dea di bawah matahari senja untuk kesekian kalinya. Dengan masker itu, semoga aja gak ada yang kenal sama dia. Semoga.
Karena Sulay gak kunjung datang dan gue gak ditugasin apa-apa, maka gue memutuskan buat segera masuk ke dalam rumah hantu bareng Dea. Karena jujur aja, gue khawatir event ini jadi kacau karena kehadiran Dea yang bahkan kantor gue punya berkas khusus buat dia. Dan tentu aja gue gak mau kalau Dea sampai kenapa-kenapa.
"Eh! Ada Levina, ya, Do!?" tanya Dea yang ngelihat Levina lagi ngobrol sama orang karcis.
"I-iya ... Kali juga ada, tuh lagi ngipasin satenya."
Dea mungkin gak ngerti konsep memakai masker buat menyamar. Dia malah menegur Levina!
"Vin! Kenal gue nggak?" tanya Dea.
Levina menatapnya, lalu menatap gue.
"Ya kenal, lah. Emang kenapa, Dea?" sahut Levina dengan karcis di tangannya.
Dea menatap gue.
"Gak berhasil, Do. Lepas aja, ya?"
"E-eh! J-jangan! Pakai aja dulu!"
"Kalian mau masuk, ya?" tanya Levina.
"Iya," jawab Dea.
"Masuknya harus berlima. Siapa lagi, nih?" tanya Levina.
Kali tiba-tiba berlari ke arah kami membawa kipas satenya.
"Vin! Vin! Gue mau masuk juga!"
"Terus yang jaga dagangan kita siapa!?"
"Katanya dia lagi di jalan menuju ke sini!"
"S-serius lo!? Yaudah, gue gak jadi masuk. Nih karcisnya."
Levina menyerahkan karcis pada Kali lalu berlari ke stand sate mereka.
"Nah ... kalau begini, kan akhirnya gue bisa masuk rumah hantu," ucap Kali sambil mengipaskan karcisnya.
"Katanya harus lima orang. Kita baru bertiga," jawab Dea.
Di belakang gue, mendengar suara bising aja membuat gue tersenyum. Rava dan Anto lagi beli karcis.
"Nah! Pas lima orang, kan!?" kata gue bersemangat.
Anto memutari Dea sesaat setelah mematikan dronenya.
"Hei ... kakak cantik dari mana ini?"
Tiba-tiba di depan kami berlima, pintu buat masuk ke wahana rumah hantu terbuka perlahan dengan aura misterius. Di atasnya tertulis: "Selamat Datang di Sekolah Arwah" yang gede dan menyala dengan lampu merah. Ternyata, konsep rumah hantu ini mengambil tema sebuah sekolah SMA yang berhantu!
Gue, Dea, Rava, Anto dan Kali melangkahkan kaki memasuki wahana yang keren ini. Pemandangan pertama kami adalah: suasana kelas dengan lampu redup yang bikin susah melihat. Banyak bangku kosong, papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus kimia yang tentu aja gue nggak ngerti, serta yang paling menarik perhatian adalah berdirinya sesosok figur guru laki-laki di samping papan tulis.
"Hantu bukan, tuh!?" tanya Anto yang bersembunyi di balik punggung Rava.
"Lo berharap ketemu Blackpink, ya? Kita, kan lagi masuk rumah hantu, To!" sahut Rava.
Kali beda lagi. Walau sebelumnya tampak antusias, kini dengan kipas sate di tangannya dia gak henti-hentinya nutupin muka. Beda banget sama gue dan Dea yang makin penasaran.
"Kalian! Kenapa kalian terlambat!? Jam pelajaran sudah di mulai! Cepat duduk!" kata guru itu.
Kami berlima nurut aja karena ini pasti bagian dari wahananya. Posisinya adalah: Gue dan Dea duduk bersebelahan di paling depan, di belakang Dea ada Anto dan Rava, sementara Kali duduk menyendiri di pojok paling belakang.
"Hari ini kita harus berhasil membuat ramuan ini untuk dijadikan penangkal arwah kepala sekolah yang bergentayangan! Mengerti!?"
"Mengerti, Pak Guru...." sahut kami semua, kecuali Dea.
Pak Guru mengambil spidolnya dan seakan mau menulis sesuatu di papan tulis putih. Lalu, lampu ruangan tiba-tiba mati! Semuanya menjadi gelap! Anto dan Kali berteriak karena kaget. Dea memegangi lengan gue dengan erat.
"Seru banget, Do! Orang tadi mati atau kenapa, sih!?"
Kami semua menghadap ke depan, memperhatikan sesuatu yang muncul perlahan.
"Apaan, tuh!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...