BAB 44: Sebuah Tanggal

51 9 0
                                    

Pada tegukan terakhir es kopi yang gue minum sembari Rava bercerita, gue akhirnya mengetahui satu hal yang selama ini abu-abu di benak gue. Yaitu adalah: alien benar adanya. Walaupun begitu, abu-abu berkabut di pikiran gue gak tiba-tiba menjadi putih bersih dengan mengetahui cerita ini kalau gue gak melihatnya secara langsung.

"Jadi kalian berdua ketemu alien!?"

Rava menggeleng.

"Kami ketemu Keyla yang juga manusia sama kayak kita. Katanya, alien-alien itu cuma datang sebulan sekali."

Dea menaruh cangkir, lalu menarik lengan baju gue.

"Alien itu apa, Do?" tanyanya dengan wajah polos.

"Alien itu makhluk hidup lain yang gak berasal dari planet bumi ini, Dea,"

"Bedanya sama kami apa?"tanyanya.

Rava dan Anto saling melirik.

"Ya ... kalian, kan masih penghuni bumi. Jadi gak disebut alien, dong."

Di antara jeda hening itu, drone di atas meja tiba-tiba memutar baling-balingnya. Anto Si Pilot tersenyum lebar. Untung aja gak rusak. Kalau enggak, bisa-bisa mereka minta ganti rugi sama gue yang gak punya uang ini.

"Gini. Emm ... Kak Mardo, Kak Dea. Pasti kalian udah sadar sejak tadi, kalau sebenarnya kami ngelihat kalian punya kekuatan aneh. Dengan kekuatan itu ... apa kalian mau nyakitin Keyla?"

"Jujur gue juga gak tahu. Makanya gue ditugasin buat nyari tahu soal dia, kan?"

Rava menatap mata gue.

"Gak ada yang bisa masuk ke sana lagi sejak saat itu. Setiap hari, gue selalu memandangi kaca jendela rumah itu dari kamar gue. Gak pernah ada yang terjadi. Dalam suratnya yang dia kasih ke gue sebelum kami berpisah, dia cuma minta gue nunggu dia 2 tahun lagi,"

"Ada apa sama 2 tahun lagi?"

"Rambutnya. Dia bilang, perubahan warna rambutnya adalah indikator kalau dia akan dibebasin dari rumah itu. Berdasarkan perhitungan dia sendiri, rambutnya akan hitam sepenuhnya 2 tahun lagi,"

"Misalkan ... seandainya rambutnya bisa dibikin hitam saat ini juga ... apa dia bisa bebas?"

Rava ketawa kecil.

"Di suatu malam gue pernah kepikiran hal yang sama. Gimana kalau seandainya gue ngasih dia semir rambut, terus akhirnya dia bisa keluar dari rumah itu saat itu juga."

Anto menjitak kepala Rava.

"Eh, emang lo pikir alien gak tahu kalau itu semir? Bego lo!"

Gue ketawa. Entah kenapa tiba-tiba teringat sama Sulay.

"Gak ada salahnya kalau mau dicoba. Pertanyaannya adalah: gimana cara ngasihnya sementara kita aja gak bisa masuk?" kata gue.

Dea yang dari tadi cuma mendengarkan angkat bicara.

"Pintu dibikin buat keluar-masuk rumah, kan? Kenapa gak coba dari hal paling mendasar dulu? Mengetuk pintu?"

Gue meletakkan tangan di kepala Dea.

"Dea ... gak ada orang yang mengetuk pintu rumah kosong,"

"Yaudah dobrak aja pintunya. Atau pecahin sekali lagi jendelanya. Aku yakin bisa, kok."

Sampai matahari menuju terbenam, kami berempat gak menemukan satu kesepakatan-pun. Segala teori-pun dilontarkan bergantian soal cara masuk ke dalam rumah itu.

"Walaupun aku merasa ada pagar aneh yang mengelilingi rumah itu, tapi aku yakin dengan kekuatan aku sama Mardo kami pasti bisa mecahin kaca jendelanya," ucap Dea dengan semangat.

"Jangan, Dea ... itu artinya sama aja kita ngajak ribut dia. Aku gak mau itu," jawab gue.

"To, menurut lo kenapa waktu itu drone lo terbang sendiri dan mecahin kaca jendelanya?" tanya gue.

"Waktu itu gue mikirnya karena drone gue baru dan gue baru pertama nerbangin. Jadinya masih banyak kesalahan. Tapi ... beberapa waktu setelah gue mendalami soal drone dan udah mahir ... gue merasa ada sebuah pemicu lain,"

"Pemicu lain?"

"Drone diterbangin lewat remote control. Dia bisa dikontrol dari jarak tertentu lewat semacam gelombang frekuensi. Dan ketika ada frekuensi serupa namun lebih kuat, maka remote control kehilangan otoritasnya. Gue mikirnya gitu, sih."

Rava menggigit-gigit ujung kukunya. Tampak memikirkan sesuatu.

"Itu artinya, pada saat itu jendela itu emang lagi ngeluarin frekuensi berbeda dari hari-hari biasanya," kata Rava.

Rava dan Anto saling melirik dengan cepat.

"Sore hari!," kata Rava.

"Hari Minggu!" sahut Anto.

Rava langsung berlari menuju kalender kecil. Telunjuknya seakan menggaris sesuatu dan mulutnya tampak bicara sendiri. Dia bergegas mengambil spidol dan membawa kalender itu ke hadapan kami.

"Di hari itu, Keyla bilang kalau alien-alien itu hanya datang sebulan sekali buat memeriksa keadaan dan memenuhi kebutuhan hidup Keyla. Dia gak bilang hari itu mereka akan datang atau telah datang."

Dia menggaris kalender dengan spidolnya. Matanya terbuka lebar ketika spidolnya berhenti di sebuah tanggal.

"To! Lo tahu, kan kalau surat yang ditulis Keyla dengan kode biner itu cuma punya dua angka?"

"Iya. Emang kenapa?"

Rava menepuk bahu Anto.

"10! Tanggal 10 Juli tepat di hari Minggu!"

Kami berempat berpandangan. Jujur, gue gak begitu paham. Namun ngelihat mereka berdua sangat bersemangat, gue rasa itu artinya kami akan bisa segera ketemu sama Keyla. Sialnya, gue datang 2 hari lebih cepat. Rava dan Anto sebenarnya berbaik hati mengizinkan kami menginap di rumah Rava sampai hari Minggu tiba.

Namun, mengingat jarak antara rumah gue dan rumah mereka yang sebenarnya bisa ditempuh dalam 4 jam, gue rasa kami gak perlu sampai menginap, deh. Terlebih lagi, ada baiknya gue mengumpulkan informasi dari berbagai sumber lain terkait Keyla. Karena feeling gue berkata kalau pertemuan kami dengan Keyla gak akan bisa damai-damai aja.

"Tapi ini udah mau malam, lho. Serius gak mau nginap?" tanya Rava.

Gue dan Dea naik ke atas motor gue.

"Gak usah. Makasih buat tawarannya. Kita ketemu lagi hari Minggu, ya."

Sekali lagi, gue memandangi rumah Keyla yang mulai terlihat gelap. Di antara celah cahaya yang tersisa, gue ngelihat asap hitam torgol berbisik di telinga gue. Detak jantung gue meningkat setelah mendengar ucapannya.

"Kenapa, Kak?" tanya Rava.

"Gak ada apa-apa. Kami pulang dulu, ya."

Seperti biasa, di perjalanan pulang gue bisa ngelihat banyak makhluk lain di pinggir maupun tengah jalan. Gue sama Dea kadang-kadang ngetawain yang bentuknya aneh-aneh, tapi juga teriak ketakutan begitu ngelihat yang nyeremin. Di jalanan yang sunyi, Dea menyentuh-nyentuh punggung gue dengan jarinya.

"Do. Torgol tadi bilang apa?"

Gue menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Dea.

"Dia bilang ... waktu dia mendekati rumah Keyla sendirian, dia tiba-tiba menjadi wujud asapnya, dan ... gak bisa balik lagi."

Hening. Gue tahu, ini mengerikan buat Dea.

"Kenapa bisa!?"

"Aku juga gak tahu. Dia cuma bilang kalau dia akan tetap di dekat sana sampai kita berhasil masuk ke rumah itu,"

"Berarti ... sekarang dia gak ikut kita pulang?"

Gue hanya mengangguk. Dari kedua tangan Dea yang tiba-tiba aja memeluk gue, gue tahu kalau dia sedang gemetaran. Kalau Dea bisa merasa setakut ini, berarti benar soal rumah itu. Kalau di sana ... bersemayam sosok makhluk yang belum pernah dihadapi manusia ataupun jin.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang