"Lewat mana, nih?" tanya Sulay dengan tangan memegang setir.
Dea meniupkan asap merahnya yang membentuk bola mengapung di depan mobil.
"Ikutin aja, tuh. Ya ... itupun kalau bisa ngikutin kecepatannya," sahut Dea.
Berbeda dengan Sulay yang fokus nyetir walau tampak jengkel, gue duduk diam menahan mual. Emang iya ide menyewa mobil datang dari mulut gue. Bukan dari fakta kalau gue orangnya gampang teler kalau naik kendaraan selain motor.
Gue bisa mabuk darat, mabuk laut, bahkan mungkin gue bisa aja mabuk angin kalau suatu hari nanti naik pesawat. Ditambah Sulay yang nyetir gak santai kayak orang belum punya SIM, perut dan kepala gue berasa berputar-putar. Sialan.
Dengan sisa-sisa kesadaran, gue langsung browsing: tutorial mengambil alih kemudi sopir, kiat-kiat agar tidak mabuk darat, cara melawan pemabuk, hal-hal di luar nalar ketika jatuh cinta, dan karena mobil bergoyang-goyang gue malah kebuka situs judi online. Kampret.
"Kamu kenapa, Do?" tanya Dea di sebelah gue.
"Mual ... pusing ... tampan."
Dari spion di atas kepalanya, Sulay menatap kami.
"Lo mabuk, Do? Sinting, lo! Masa naik mobil mabuk!?"
"Ini pasti gara-gara sopirnya kurang kompeten!" sahut Dea.
Tubuh Dea kemudian mengeluarkan asap merah beserta aroma bunga mawar yang menenangkan. Gue tiba-tiba mengantuk, dan seketika gue gak merasakan mual lagi. Gue ketiduran.
Lagi-lagi gue bermimpi hal yang sama. Gue melihat toko bunga, klinik dan supermarket secara bergantian. Dan kali ini, gue juga merasa seperti sedang diperhatikan seseorang yang gak tahu dari mana.
"Do. Bangun, Do. Kita udah sampai."
Ucap Dea persis di sebelah kiri gue.
"Udah sampai? Aku ketiduran, ya?"
Sulay berpaling dan memperhatikan sekitar.
"Ini beneran kita parkir di sini? Pinggir jalan begini!?"
"Gak apa-apa, kok. Motor Mardo aja aman. Jam berapa sekarang? Belum kemalaman, kan?"
Kami bertiga memasuki tanah kosong dengan rumput liar setinggi lutut. Saking gelap dan lebatnya rerumputan, gue sampai gak bisa ngelihat kaki gue sendiri. Gue cuma berharap gak keinjak paku atau ular aja.
"Aduh!"
Dea tiba-tiba teriak.
"Kenapa, Dea!?"
Dia mengusap-usap betisnya.
"Sakit! Rumputnya tajam-tajam, Do!"
Sulay yang berjalan paling depan menoleh sebentar.
"Siapa suruh lo pake celana pendek gitu,"
"Mardo, kan suka. Kenapa jadi lo yang bawel, sih!?"
Eh buset! Kenapa gue!?
"Hah!? Kapan aku pernah bilang suka pake celana pendek!?"
Gak tahu kenapa, kami bertiga jadi ketawa-ketawa. Jalan raya di belakang udah semakin gak kelihatan. Lalu, Dea berhenti berjalan dan memperhatikan sekeliling. Ketika yakin udah menemukan lokasi yang benar, Dea meniupkan asap merahnya yang membentuk lingkaran portal.
"Masuk, nih?" tanya Sulay.
"Ya masuk, lah, Pak. 'Kan tujuan kita bukan ke semak-semak kayak gini, tapi ke pasar."
Seperti waktu itu, ketika memasuki portal, suasana langsung berubah drastis. Rerumputan menghilang dan berganti tanah berbatu yang berkilauan karena cahaya terang di mana-mana. Benar-benar suasana pasar malam yang ramai. Ketika poral tertutup dan Dea berdiri di antara kami, kami bertiga langsung memasang sikap waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...