Sesuatu yang Pkakuk sebut sebagai sumur ini kayaknya cukup dalam. Gue bisa ngelihat beberapa ikan berukuran besar naik ke permukaan buat ngambil oksigen.
“Mardo, dulunya tempat ini merupakan perpustakaan,”
“H-hah?”
“Buhan kami senang mempelajari bahasa manusia. Hingga setelah waktu yang sangat lama, leluhur kami berhasil menciptakan sebuah buku. Buku yang membuat semua makhluk di hutan ini bisa mengerti bahasa manusia.”
Gue duduk di pinggiran sumur, mendengarkan cerita Pkakuk.
“Namun, buku itu belum dianggap selesai karena buhan kami baru bisa mengerti bahasa buhan pian. Kita belum bisa berkomunikasi. Itulah mengapa, para leluhur mengirim banyak pemuda ke dunia manusia untuk belajar bahasa. Termasuk ulun.”
Walaupun agak bingung, tapi gue pernah punya pengalaman ngobrol sama burung beo punya orang. Bukan ngobrol juga, sih sebenarnya. Waktu itu gue lagi bagi-bagi kupon daging kurban dari rumah ke rumah. Di salah satu rumah, gue ngelihat ada sangkar burung yang gede. Gue kaget banget karena tiba-tiba ada suara orang ketawa diiringi sirine mobil polisi. Ternyata, itu suara burung beo.
“Mardo. Mardo!?”
“I-iya kenapa, Pak?”
“Pian memikirkan apa?”
“M-mohon maaf, Pak. Saya teringat sama burung beo yang bisa ketawa terus ngeluarin suara sirine mobil polisi.”
Pkakuk memaju-mundurkan kepalanya. Terdengar tawa kecil dari paruh bengkoknya.
“Mardo, apa pian bisa dengar suara kicau burung di hutan ini?”
“I-iya bisa,”
“Apa pian mengerti kicauannya?”
“S-saya bukan kicau mania, Pak. Saya gak ngerti.”
Pkakuk membentangkan kedua sayapnya yang kalau di bandingkan panjang tubuh gue, kayaknya itu jauh lebih panjang, deh. Dia mengepak pelan, lalu gue ngelihat asap ungu di sekitarnya. Bentar, bentar! I-ini pasti salah satu sihir warna, kan!?
Asap ungu itu melayang dan seakan ingin menyelimuti gue. Tiba-tiba, muncul asap merah dari sekujur tubuh gue yang seakan mengusir asap ungu itu. Buset! Apa itu ulah Dea!?
“Sepertinya Ratu Merah benar-benar menjaga pian. Tapi mohon terima asap ungu ulun sebentar saja.”
Gimana caranya, woy!? Gue aja gak tahu kenapa asap merah Dea tiba-tiba muncul. Gue kemudian mencoba mengulurkan tangan ke asap ungu itu dan berhasil! Asap merah Dea mulai memudar, berganti dengan asap ungu yang terasa geli di sekujur tubuh gue.
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku,”
“Stop! Stop! Siapa itu tadi yang ketinggian nada!? Sudah ulun bilang, bagian ‘kebang’ jangan teriak! Ulang dari awal!”
“HAH!? JADI MEREKA SEBENARNYA NYANYI!?”
“Bagaimana, Mardo?”
“A-ajaib, Pak! K-keren b-banget!”
Asap ungu tadi menguap keluar dari tubuh gue. Suara kicau burung telah kembali dengan gue yang senyum-senyum, mengetahui ternyata bukan cuma gue yang suka lagu Indonesia Raya.
“Ironisnya, keberadaan buku itu malah menjadi masalah. Di suatu malam, kami mendengar suara jendela yang pecah dan juga suara pohon tumbang. Ulun yang waktu itu masih anak-anak, ikut menyaksikan kedatangan dua orang manusia ke hutan ini untuk pertama kalinya.”
Gue kembali duduk untuk mendengar dia bercerita. Kali ini, dia juga ikutan duduk. Eh, bentar! Dia nggak duduk! Dia tengkurap!
“Kedatangan Marpo dan Moko benar-benar menjadi bencana sekaligus berkah bagi kami semua,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...