BAB 123: Mengantar Aturan Desa

18 4 1
                                    

“Gimana debunya, Dea?”

“Aman, Do. Kayaknya udah masuk ke perut.”

Lagu-lagu lama mengiringi perjalanan kami. Banyak yang gue gak tahu tapi di situlah letak serunya. Bersandar di kursi sambil melirik jalan, mendengarkan setiap liriknya lalu berdebar menunggu apa lagu berikutnya.

“Eh, Do. Penciuman kamu gimana?”

Gue mendekatkan gelas kopi yang masih hangat ke hidung. Masih gak ada aroma apa-apa.

“Coba kamu cium, deh.”

Dea malah tiba-tiba menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“Malu, Do! Masa di sini, sih!?”

“Buset. I-ini, lho … kopinya kamu cium. Aduh, Dea….”

Sulay menengok ke belakang dan menatap kami berdua dengan tampang sopir.

“Berisik banget kalian! Gue mau dengerin lagu ini, nih! Ini favorit gue!”

“M-maaf, Pak. Gue pikir lo gak suka musik,”

“Gue cuma gak suka musik-musik zaman sekarang. Semua liriknya kayak orang paling lemah di dunia.”

Sulay dengerin lagu apaan, sih? Kayaknya musik zaman sekarang juga masih bagus, kok. Yaudahlah, biarin aja. Gue juga jadi pengin dengerin lagu yang sekarang bermain.

“Lelaki hanya berdiri … di tepian telaga. Menyusuri kesunyian hati … ada rindu dalam hatinya. Ada embun jatuh setitik … di ujung hatinya.”

“Wah gokil … selera musik lo bagus, Pak.”

Sulay cuma diam sambil minum kopi. Dea di samping gue menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri seirama tempo lagu. Karena liriknya, gue malah teringat sama sosok laki-laki yang berdiri di tepi sungai dekat rumah Mbah Bondo. Jadi teringat gimana takutnya gue saat itu.

“Pada embun ia bertanya … Pada ranting ia bertanya. Untuk apa bertemu … kalau nanti berpisah. Untuk apa bercinta … kalau nanti bersedih….”

Di depan gue, Sulay menghela napas panjang. Dan di samping, Dea berhenti bergerak. Pandangannya tertunduk. Ini lagu magis banget! Gue gak tahu apa isi kepala mereka terhadap lagu ini. Yang gue yakini adalah: kita semua terpikirkan seseorang. Dan gue malah kepikiran om-om pinggir sungai.

Lagu-lagu telah berganti namun lirik sebelumnya benar-benar menempel di kepala. Lalu, sampailah kami di gerbang desa. Aspal jalan berhenti di sini. Sejauh mata memandang hanya tampak tanah kering dan suasana desa yang udah lama banget gak gue lihat.

Pak Sopir memelankan volume musiknya seraya membukakan pintu. Lagi-lagi dia tersenyum ramah kepada kami yang bangkit dari kursi. Gue memegangi tangan Dea ketika turun meninggalkan bus. Sulay masih tampak berbincang dengan Pak Sopir.

“Kita nanti tinggal di mana, Do?”

“I-itu … ada lah … pasti ada nanti. Ini gimana cara bukanya, sih? Koper kita masih di dalam.”

Gue masih gak tahu caranya buka bagasi bus. Dea menyentuh stiker tulisan yang sebelumnya kami lihat.

“Hasely. Ini yang kita cari, kan, Do?”

Gue mengangguk. Pada berkas bersampul abu-abu yang menjadi rujukan tugas kali ini, nama Hasely emang ditulis tapi bukan sebagai nama bus, melainkan nama orang. Seseorang yang menjadi alasan kenapa kami di sini sekarang.

Karena ini sebenarnya hukuman bagi gue, Sulay gak punya beban apapun. Artinya, gue harus berusaha sendiri untuk mencapai tujuan akhir tugas ini, yaitu: menguasai sihir abu-abu. Buset! Baru juga sampai di desa pikiran gue udah jernih aja.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang