BAB 92: Tentang Entitas Baru

63 8 0
                                    

"Maaf, Mardo. Tapi ini sudah menjadi tugas kami," ucap Torgol.

Dua cowok Mizi itu melemparkan tombaknya yang secara kuat menancap di punggung tokek berbintik merah. Gue akui, daya rekat kaki tokek emang ajaib. Walaupun dia kesakitan, tapi dak gak jatuh. Satu hal yang bikin gue lebih takjub adalah tombak itu. Beberapa saat yang lalu dia adalah benda padat yang tajam, tapi kini berubah menjadi asap hitam dan kembali ke tangan pemiliknya!

Torgol melompat tinggi dan menendang kepala tokek yang seukuran ban mobil itu dengan keras. Tokek itu membuka rahangnya, siap menerkam Torgol tapi sebuah tombak melesat dari bawah dan menusuk ekornya. Sesaat sebelum ekornya putus tombak satunya lagi melesat dan menghancurkan jendela yang tadi gue perhatikan.

"Bodoh! Kenapa bisa meleset!?" kata Torgol pada anak buahnya.

Ekor tokek yang putus terjatuh ke lantai, menghantam meja sampai patah dan berantakan. Ekor itu menggeliat seakan masih hidup. Mery di belakang gue gak pengin ngelihat ekor yang menggelikan itu dan terus aja menutupi mukanya dengan punggung gue.

"Kasihan tokek itu, Do. Lihat, deh ... kayaknya dia gak niat melawan."

Ucapan Mery emang gue rasakan juga. Dengan sihir biru gue, gue merasakan kalau tokek itu ketakutan. Berulang kali dia berusaha pergi lewat jendela yang pecah di samping kirinya, berulang kali juga tombak-tombak itu menghujaninya.

"Pak! Udah, Pak! Biar saya yang urus sisanya! Jangan serang dia lagi!"

Torgol gak peduli dan dia gak henti-hentinya meloncat buat menendangi tokek itu.

"TORGOL! BERHENTI!"

Setelah gue teriak begitu, barulah dia berhenti menyerang dan langsung menatap gue. Gue melayangkan gelombang kejut dengan pedang gue ke arah belakang tokek itu dengan tujuan biar dia segera pergi dari sana. Untungnya berhasil dan tokek itu pergi keluar kantin yang semoga aja pergi dari kantor juga.

"Kenapa kamu biarkan dia pergi, Mardo!?"

"Dia cuma binatang, Pak. Bukan musuh berbahaya yang pantas dilawan tiga orang kayak kalian."

Jam 1 malam, akhirnya gue sampai di rumah. Di teras dengan pintu tertutup, Dea lagi duduk sama Kikuem. Mereka menatap gue yang baru aja turun dari motor.

"Kenapa di luar? Ini, kan dingin,"

"Tunggu, Do! Jangan bergerak!" kata Dea.

Kikuem berdiri dan menyerang ke belakang gue dengan kuku panjangnya!

"Woy! Apaan, nih!?"

Di belakang gue, tiba-tiba terjatuh tak berdaya seekor belalang seukuran anak sapi!

"Kamu dari mana aja, sih, Do? Kok bisa sampai diikutin jin binatang kayak gitu?"

"Dari kantor kayak biasa. Emm ... tapi sebelumnya dari apartemen orang, sih."

Dea berdiri menghadap gue dan meniupkan asap merahnya. Asap merah yang tadinya berwarna bunga mawar dengan aroma segar itu berubah menjadi asap hitam ketika menembus tubuh gue! Kok bisa berubah!?

"Kamu kebanyakan memakai sihir warna buat hal gak penting, Do. Makanya sekarang aura kamu jadi gelap dan itu mengundang jin hitam ngikutin kamu,"

"Hah!? E-enggak, kok. Aku cuma pakai seperlunya aja."

Karena gue gak mau manggil Pak Nang buat nyabut angin di badan gue, jadinya gue memutuskan buat ngobrol di dalam rumah aja. Dea sama Kikuem ini emang beneran anti angin kayaknya. Bukan apa-apa, kalau ngelihat pakaian mereka, kayaknya teori angin duduk gak berlaku, deh.

Dea yang memakai celana pendek di atas lutut bahkan gak digangguin nyamuk. Kikuem juga lebih ajaib lagi. Iya, sih bajunya panjang tertutup, tapi kainnya tipis banget. Cewek-cewek dari makhluk gaib emang ajaib.

"Do, coba ceritain lagi, deh soal keanehan yang kamu alami seminggu ini sama Kikuem,"

"Oke. Pertama, dokter cewek di kantor sama anak kecil cucunya Si Bos punya asap merah Dea. Kedua, aku pernah gunain sihir hijau buat menukar posisi pedang sama bantal. Ketiga, aku ketemu jin cewek yang aneh banget yang dapat kekuatan dari pensil manusia. Gimana? Ada yang bisa jelasin?"

"Kalau soal Kak Kila yang siluman kuyang itu, sih udah gak usah dipikirin lagi, Do. Tenang aja, walau dia punya asap merah aku, dia gak akan punya kekuatan aku, kok. Lagian dia juga gak akan bisa lebih cantik dari aku. Iya, kan, Do?"

"I-iya ... kayaknya iya, deh."

Kikuem menatap pedang gue di atas meja makan sebelum bicara.

"Mohon izin menjawab. Soal pedang yang bisa ditukar dengan bantal sebenarnya bukan hal aneh. Itu karena di dalam pedang terdapat sebagian asap merah Ratu. Selagi masih terikat kontrak, pedang itu menjad bagian dari diri Anda berdua."

Dea senyum-senyum menatap gue. Gue diam-diam menguap.

"Saya pernah dengar soal kehebatan manusia. Di antaranya, beberapa dari mereka bisa menciptakan entitas hidup dari imajinasi mereka sendiri. Mungkin saja, perempuan yang kamu lihat itu bukan jin seperti kami,"

"Bentar, bentar ... m-maksudnya gimana!? Jadi Firny itu itu bukan jin penjaga tambang batu bara!?"

"Banyak sebutan buat makhluk kayak gitu, Do. Tapi di lidah kami, kami nyebutnya introject. Yang kami tahu, hanya manusia dengan imajinsi tinggi yang bisa menciptakan introject secara berkelanjutan,

"Berkelanjutan?"

"Iya. Kalau imajinasinya kurang, introjectnya gak akan permanen."

Buset, dah! Niat mau pulang ke rumah buat tidur, gue malah dapat seminar soal introject yang gue sama sekali belum pernah dengar. Untung aja Dea ini pengertian. Jadinya dia mempersilakan gue buat masuk kamar dan tidur sementara dia sama Kikuem kembali ke teras buat ngobrol.

Tibalah hari di mana ketika baru gue bayangin aja gue udah semangat banget. Gue gak mau tahu, walaupun gue karyawan, gue juga mau ikutan masuk sebagai pengunjung! Dea yang sebelumnya gue kasih tahu soal hal ini juga ikutan semangat. Makanya, pagi ini dia bikin menu sarapan baru. Nasi kuning with ayam goreng ekstra daun pisang!

"Rumah hantu, tuh gimana, sih, Do?" tanya Dea sambil mengunyah nasi.

"Semacam wahana rumah-rumahan gitu ... terus di dalamnya ada orang yang pura-pura jadi hantu dan tugas mereka nakut-nakutin pengunjung yang masuk,"

"Emangnya bisa, ya pura-pura jadi hantu?"

"Ya kalau akting sama dandanannya cocok, sih bisa-bisa aja. Makanya kemarin aku sama Sulay ditugasin buat nyari aktris yang hilang. Iya juga, ya! Gimana jadinya Yuri yang cantik mirip orang Jepang itu berubah jadi hantu nanti?"

"Yuri siapa!?"

"I-itu ... aktris yang nanti jadi pemeran hantu utamanya. Yang kami cari sama Sulay itu, lho."

"Oh. Cuci piring sendiri, ya. Aku mau mandi biar lebih cantik dari Yuri!"

Katanya mau mandi, tapi Dea malah mengangkat semua nasi kuning di meja makan. Kalau gini, kan gue jadi gak bisa nambah. Sialan. Tahu gitu gue ngambil sekaligus banyak dari tadi. Sebenarnya gue mau nanyain Sulay lewat WhatsApp apakah ada nasi kuning di kantin atau enggak. Ternyata, dia mengirim WhatsApp duluan.

"Acara dimulai sore. Lo buruan ke sini, banyak yang harus kita kerjain."

Sekalian aja gue tanya:

"Gue boleh ngajak Dea nggak, Pak? Dia mau ikut."

Setelah segelas air putih habis gue minum, balasan masuk.

"Ajak aja."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang