BAB 36: Asap Hijau dan Aromanya

63 10 0
                                    

Setelah empat hari yang gue habiskan dengan banyak melamun di kamar, menuju hari kelima di mana sinar matahari sore sedang bagus-bagusnya, datanglah Dea ke kamar gue. Secara manusiawi.

Iya. Semenjak hari di mana dia menangis lalu pergi beberapa saat dan mengatakan bahwa dia hanya akan menjadi rekan kerja profesional gue aja, dia menjadi jauh lebih manusiawi. Dia udah gak pernah main-main keran air, dia udah gak pernah tiba-tiba muncul dan pergi, dan dia udah bisa pergi ke warung Pak Timan sendirian!

"Do, kok lampunya belum dinyalain, sih!? Itu kenapa lagi jendelanya masih kebuka. Nanti masuk angin, lho!"

Ketika Dea menutup jendela dan nyalain lampu, entah kenapa pandangan gue pertama kali tertuju pada buku-buku warna-warni itu.

"Dea. Di antara buku-buku itu ... ada gak yang cocok buat aku pelajari sekarang?"

Dea duduk di depan gue dengan senyum lebar.

"Serius, Do!? Kamu udah mau belajar!?"

Gue menatap dua bola matanya dengan yakin.

"Oke! Emm ... kamu mau kekuatan yang kayak gimana?"

"Kekuatan yang bikin aku gak lambat lagi."

Dea menatap buku-buku itu dengan jari telunjuk yang setengah digigit.

"Yang hijau gimana?"

"Itu ... buat apaan, ya? Aku lupa."

Bibirnya seketika cemberut sambil menatap gue dengan sinis.

"Kamu, tuh, ya ... jangan-jangan kamu juga lupa kapan pertama kali kita ketemu,"

"Lho? Kok jadi ke sana, sih?"

Dea mengangkat buku bersampul hijau itu.

"Kalau kamu bisa nguasain buku ini sepenuhnya, kamu bisa ngendaliin ruang dan waktu,"

"Kalau ... s-selembarnya aja? Gimana?"

Dea menyipitkan matanya lalu mengambil hp gue yang sejak awal berada di atas kasur.

"Waktunya belajar! Gak boleh main hp dulu. Oke?"

"Oke. Lagian juga gak bakalan ada yang nelpon."

Lagu Indonesia Raya berkumandang di tangan Dea. Sebuah telpon tak terduga dari Mery.

"Gak bakalan ada yang nelpon!? Ini!?"

Dea langsung matiin hp gue. Kejam banget. Di kamar gue yang tadinya udah terang, sekarang dibikin gelap lagi oleh Dea. Dia nyalain sebuah lilin, menaruhnya di lantai di antara kami yang duduk berhadapan. Kedua tangan gue memegang erat buku bersampul hijau itu. Tinggal menunggu instruksi dari Dea.

Api lilin itu menyala dengan tenang pertanda gak ada angin di dalam ruangan. Dengan lembut, Dea meniup api itu. Segumpal asap merah membuat api itu menyala dengan cahaya merah terang dan tercium aroma bunga mawar di seluruh penjuru kamar.

"Sekarang buka halaman pertama buku itu, Do."

Gue membuka buku itu perlahan. Di halaman terdepan berisi sebuah catatan singkat dari seseorang yang putus asa. Menjabarkan bahwa dia akan mati sebentar lagi dan meninggalkan orang yang disayanginya. Begitu gue selesai membaca catatan itu, secara misterius gue mencium aroma asin ombak pantai. Dea tersenyum menatap gue.

Setiap kali gue menyelesaikan kalimat dari setiap akhir halaman, asap hijau tipis masuk lewat hidung gue, yang semakin memperkuat aroma asin ombak tadi. Gak seperti yang gue bayangin, kalau gue akan mempelajari teori ruang dan waktu yang bikin sakit kepala, gue justru seakan membaca dan merasakan cerita dari seseorang entah siapa.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang