Setelah memungut pedang gue yang sekarang telah patah, gue mengikuti Keyla berjalan ke arah sebuah pintu di ujung dapur. Sinar matahari senja berdesakkan masuk ketika pintu itu terbuka. Suara ocehan kodok yang sejak tadi gue dengar sekarang terasa semakin jelas.
Rava dan Anto ternyata gak bohong. Halaman belakang rumah Keyla ini bisa gue bilang jauh, jauh, jauh lebih luas bahkan dari lapangan balap sapi! Kok bisa!? Tunggu ... harusnya gue gak sekaget ini, dong. Kantin di kantor gue juga luas banget. Padahal kalau dilihat dari luar, kantor gue cuma ruko dua lantai. Kok bisa, sih!?
Banyak pepohonan besar yang seakan menutupi kami dari bias-bias jingga di langit. Angin sore yang berembus membawa suara kodok dan jangkrik ke manapun dia mau. Dan di bawah sebuah pohon, terdapat kursi dan meja kopi yang teduh, yang tengah diduduki seseorang yang tentu gue kenal!
"Pak!" gue berlari menghampiri Torgol.
Dia segera berdiri. Dari paruh ayamnya itu, gue emang gak bisa nebak apakah dia tersenyum atau enggak.
"Mardo! Akhirnya kita bisa ketemu lagi."
Keyla melewati kami berdua, duduk di kursi dan menyilangkan lengannya di depan dada. Dia memandangi gue dari atas sampai bawah, lalu memandangi Torgol dengan cara yang sama.
"Sekarang siapa yang mau cerita duluan?" tanyanya.
"G-gue mau tanding ulang!" sahut gue.
Torgol menatap pedang gue yang udah gak utuh itu, lalu menepuk bahu gue sambil menggeleng.
"Tenang, Pak. Bahkan tanpa pedang, saya yakin bisa ngalahin dia."
Keyla berdiri dari kursinya sambil tersenyum.
"Boleh."
Torgol berdiri di bawah pohon, sementara kami berdua saling berhadapan di tengah lapangan. Keyla mungkin punya kekuatan tendangan yang gila. Tapi mungkin dia gak tahu, kalau ruang dan waktu bisa berpihak sama gue. Bagian ujung pedang yang patah, gue lempar setinggi mungkin ke atas lalu gue berlari ke arah Keyla dengan sisa potongan pedang lainnya.
Keyla menatap sekilas ujung pedang di langit walau dia gak kelihatan lengah sedikitipun dari gue yang menuju ke arahnya. Gue mencoba menebas Keyla dengan pedang buntung yang dilapisi asap hitam pekat. Karena panjangnya berkurang, gue gak berhasil menjangkau lehernya.
Dengan santai dan gak berusaha menghindar, Keyla meniup gue. Gue berasa ditabrak sama angin kentut sapi raksasa yang gak bau! Gue baru tahu kalau angin bisa nabrak orang sampai gue terpental cukup jauh! Keyla berjalan beberapa langkah ke arah gue. Di atasnya, sebuah potongan besi abu-abu sedang jatuh sesuai rencana.
Dia menengadah, menyadari ujung pedang gue akan mengenainya. Sesuai dugaan gue, dia gak berusaha menghindar. Gue menoleh ke kiri, menatap Torgol yang bersandar di batang pohon.
"Lihat ini, Torgol!" ucap gue dengan pelan, diiringi sedikit senyuman.
Gue jatuh menimpa Keyla! Gue minindih perutnya, dan kedua tangannya gue pegangi dengan kuat ke tanah. Akhirnya, ekspresi kaget itu bisa gue lihat dari wajahnya.
"Bagus, Mardo!" teriak Torgol.
Keyla mengembuskan napas, memejamkan matanya lalu tersenyum.
"Oke. Aku kalah," ucapnya.
Gue membantu Keyla berdiri, lalu mengikutinya menuju kursi yang tadi. Dia menepuk-nepuk celana hitamnya yang sedikit berdebu gara-gara terjatuh tadi sebelum duduk di kursi. Gue dan Torgol yang gak kebagian kursi cuma diam berdiri di depannya.
"Sekarang aku lumayan lega, ternyata masih ada orang hebat di luar sana," ucapnya saat menatap gue.
"L-lega kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...