BAB 21: Mery dan Lukanya

74 11 1
                                    

Saat gue dan Naya duduk berdua kayak gini, di sini, membawa gue kembali pada ingatan-ingatan waktu kami masih bersama dulu. Walaupun dia gak suka panas matahari dan tempat terbuka, dia masih mau nemenin gue mancing dengan segala kebosanannya. Dia adalah orang yang mau memahami kehidupan gue.

Justru gue yang merasa gak nyaman kalau nemenin dia ke kedai kopi di waktu senja. Bahkan terkadang kalau lagi sama teman-temannya dia bisa nongkrong sampai malam. Gue gak suka tempat ramai, dan gue selalu bilang gak suka dengerin gosip. Gue adalah orang yang gak memahami kehidupannya.

Dan hari ini, gue adalah orang yang sangat marah dan ketakutan kalau hal buruk menimpanya. Dia memandangi gue yang memandanginya dengan mata berkaca.

"Kamu kenapa, Do?"

"Aku ... kangen mancing."

Asap hitam torgol melayang di belakang gue sambil berbisik pelan:

"Kita harus pergi, Mardo."

Gue bangkit dari kursi dan menatap Naya sambil tersenyum.

"Maaf, Nay. Aku harus pergi sekarang. Kamu ... habis ini mau ke mana?"

"Iya, Do. Aku senang, kok kamu masih mau datang. Aku ada janji juga sama teman-teman barista,"

"Oh gitu."

Gue dan Naya berpisah di depan warung tempat Sulay menunggu. Untungnya Naya gak sadar bapak-bapak di warung lagi pingsan dan dia gak melihat Torgol sama hantu pohon. Dia cuma senyum ke arah Sulay yang sibuk main hp. Setelah Naya menghilang dengan motornya dari pandangan kami, Torgol langsung berdiri dari kursi dan mendekati gue.

"Saya suka wanita itu, Mardo."

Gue duduk di sebelah hantu pohon. Dia menoleh perlahan.

"Kenapa muka kamu ditutupin kalau sebenarnya cantik?"

Dia diam aja. Matanya melirik ke arah Sulay yang menatap gue.

"Do," kata Sulay saat meletakkan hpnya di meja.

Torgol dan hantu pohon berpindah ke sebelah Sulay.

"Gue minta maaf karena bikin lo panik dan melibatkan cewek tadi itu. Ini satu-satunya cara buat ngembaliin Torgol ke kantor. Gue harap lo paham,"

"Hah!? J-jadi ... Naya gak g-gak ... diculik jin tadi!?"

"Saya yang menculiknya," sahut hantu pohon.

"Hah!?"

Sebelum gue semakin bingung, Sulay menjelaskan semuanya.

"Gini, Do. Torgol adalah aset kantor yang berharga. Kami gak bisa biarin dia tersegel gitu aja di pedang lo. Ya, walaupun lo dan pedang lo juga gak kalah berharganya bagi kantor,"

"Tapi kenapa harus bawa-bawa Naya?"

"Karena dia orang yang lo peduliin. Lo pasti datang dan lo pasti berusaha sekuat mungkin buat nyemalatin dia. Iya, kan?"

Sulay, Torgol dan hantu pohon bangkit dari kursi.

"Secara keseluruhan yang mudah lo pahami, ya begitu ceritanya. Kalau lo udah agak paham, lo pasti tahu alasan yang lebih kuat lagi dari ini. Kita balik ke kantor sekarang."

Hantu cewek bertangan panjang penunggu pohon kembali ke tempatnya katika kami meninggalkan pemancingan. Menururt Torgol, bapak-bapak dan ibu pemilik warung akan sadar kembali ketika kami udah jauh pergi dan mereka akan lupa kejadian tadi. Hebat.

Torgol berubah jadi burung kecil, terbang mengimbangi motor gue menuju kantor. Kali ini, dia kayaknya gak keberatan kembali ke sini. Kami kaget begitu sampai karena Si Bos udah berdiri di depan ruang admin dan lagi ngobrol dengan cewek tanpa alis.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang