BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya

71 10 0
                                    

Tempat pertama yang pengin dikunjungi Dea adalah warung Pak Timan. Katanya dia mau minta maaf langsung. Sebelum yakin dengan keputusannya, dia berulang kali bercermin dan bicara sendiri.

"Halo, Pak. Aku Dea, aku mau minta maaf soal kebakaran. Kalau gitu gimana, Do?"

"Kalau nanti bapaknya bilang: Oh, jadi kamu yang bakar warung saya!? Kamu mau jawab apa?"

Dea tampak gelisah, menatap gue sambil menggaruk-garuk kepala.

"Terus aku harus ngomong apa?"

Gue diam aja. Karena sebenarnya gue juga punya kegelisahan yang sama.

"Aku juga lagi bingung kalau nanti beliau tanya kamu ini siapa,"

"Bingung kenapa?"

"Gini aja, deh ... gimana kalau kita ke sana tapi gak usah minta maaf dulu? Kenalan aja gimana?"

"Yaudah, deh. Bentar, aku pakai lipstik dulu."

Di warungnya bersama Pak Nang, yaitu bapak-bapak yang emang hobi nongkrong di sana, Pak Timan lagi asyik ngelihatin layar hp. Dea menyenggol bahu gue sebelum kami menghampiri mereka.

"Pak...." sapa gue.

Mereka menatap gue, berpandangan sebentar lalu bersorak.

"Do! Video kemarin masih viral, lho! Komen-komen netizen juga makin seru!" kata Pak Timan.

"S-seru gimana, Pak?"

Pak Nang menjabat tangan gue.

"Hebat banget permainan pedang kamu, Do! Belajar di mana?"

Pak Timan kemudian menatap Dea, lalu menatap gue.

"Siapa, Do? Pacar baru, ya?"

"B-bukan ... bukan ... bukan, lah ... t-teman kerja,"

"Oh ... teman kerja dulu, baru jadi teman seumur hidup. Iya, nggak, Pak?" kata Pak Timan sambil menatap Pak Nang, lalu mereka ketawa.

Gue jadi malu anjir! Tingkah Dea juga jadi aneh. Dia senyum-senyum sambil benerin poninya.

"Mau belanja, ya?" tanya Pak Timan.

Gue gak punya duit, dan Dea kayaknya gak mau beli apa-apa.

"Enggak, Pak ... mampir aja. Mau pergi lagi soalnya."

Gue gak tahu mau ke mana, yang penting kabur dulu aja dari dua bapak-bapak ini. Dan ketika gue teringat ada sebuah benda di saku celana gue, barulah gue pengin nyari tahu.

"Aku dikasih sisir sama cucunya Si Bos,"

"Serius!? Itu pasti punya spirit penjaga waktu itu! Yang diambil Sulay!"

"Emang iya!? Yaudah, kita balikin aja sekarang,"

"Mau balikin ke mana, Do? Spiritnya udah gak ada. Kamu lihat sendiri, kan waktu itu? Kekuatannya diambil cucunya Si Bos,"

"Terus!? Buat apa aku nyimpan sisir ini?"

"Aku tahu sebuah tempat yang suka nyari barang-barang kayak gitu. Mau?"

"Boleh. Yuk."

Dea mengeluarkan segumpal asap merah yang terbang lebih cepat dari motor gue.

"Ikutin aja. Nanti juga sampai."

Benar aja, 45 menit kemudian kami sampai di sebuah tanah kosong yang cuma ditumbuhi ilalang. Masih di pinggiran jalan dan hari masih terang. Kalau aja ke sini malam-malam, pasti suasananya beda lagi.

"Di sini? Emang ada apaan?"

Gumpalan asap merah Dea tadi berputar-putar seperti membentuk portal.

"Ayo, Do."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang