BAB 39: Bandara dan Kemauannya

60 8 0
                                    

Gue langsung terduduk, menerima langsung embusan angin malam yang keluyuran melalui jendela gue. Gue gak penah ke bandara apalagi pergi naik pesawat. Kalau aja gue nekat berusaha pergi sekarang, mungkin gue akan bisa ketemu sama Naya lagi. Untuk menjelaskan secara langsung, kalau Dea bukan pacar gue.

"Kapan terbangnya?"

Sembari menunggu balasan dari Naya, gue buru-buru ganti baju.

"20 menit lagi. Doain perjalanannya lancar, ya."

Gue melihat jam dan menghitung seberapa cepat gue bisa ke sana.

"Aku mau ke sana. Kalau waktunya masih ada, tungguin. Kalau aku telat, maafin."

Tentu aja gue gak bawa pedang gue. Karena pasti akan dikira begal sama satpam bandara. Waktu tersisa kurang lebih 10 menit lagi, dan di lampu merah yang macet lagi ada atraksi jalanan. Melihat hitung mundurnya aja udah bikin lemas. Gue pasti gak sempat, nih!

"Dan sekarang, saksikanlah atraksi lempar lembing terjauh abad ini!"

Lempar lembing!? Di jalan raya gini!?

Seorang pria bertubuh kekar dengan lengan berotot, menenteng sebuah bilah panjang yang menunggu untuk dilemparkan ke udara. Tunggu, gue terpikirkan satu hal! Waku latihan tadi pagi, gue berhasil teleportasi sejauh 15 meter dengan pedang yang tetap gue pegang. Apakah itu berarti, gue bisa teleportasi dengan motor gue sekarang?

"Rekor orang ini adalah bisa melemparkan lembing sejauh 100 meter! Ditambah kepala dua bencong benjol saat lemparan terakhir 1 minggu yang lalu."

100 meter!? Itu artinya gue bisa mengkompensasi kemacetan ini, dong! Gue harus fokus! Pertama, gue memejamkan mata, memilah suara antara bilah lembing itu dengan suara gak penting lainnya. Ketika gue melihat tubuh gue udah ngeluarin asap hijau, maka sekarang gue harus menandai bau dari bilah itu.

Semakin gue berusaha, semakin gue pengin ketawa. Gue takut malah akan menandai bau ketek dari om-om kekar itu! Sialan malah jadi lawak! Ketika dia udah dalam posisi melempar yang berarti waktu gue gak banyak lagi, saat itulah gue membayangkan sebuah tangkai mawar hijau melesat menancap di bilah itu.

Gue berhasil! Gue membuat titik waktu di sana! Bukan main, lemparan orang itu emang beneran kencang banget! Lembing itu melayang dengan elok, menukik pada sebuah jalan besar yang juga lagi macet lampu merah. Tunggu! Itu artinya dia akan membentur orang, dong!? Dan gue nanti akan nabrak orang juga, dong!? Waduh!

Seperti di latihan dengan Kikuem sebelumnya, untuk beberapa saat gue seakan bisa membaca arah gerakan dari lembing itu. Ke mana dia akan jatuh. Lembing itu mendarat tepat di posisi pengendara terakhir, yang artinya melesat jauh melintasi lampu merah.

Dan dari jarak sejauh itu, gue gak bisa mendengar suara benturannya! Terus gimana cara gue melompat ke sana!?

"Aduh!"

Terdengar teriakan dari jauh! Itu dia! Gue menarik gas motor, dan secara luar biasa gue udah melaju di jalan lurus! Gue keren banget! Masih ada kira-kira 5 menit lagi ketika gue berlarian di bandara buat mencari Naya. Dan di antara keramaian orang lalu-lalang, berdiri seorang cewek berbaju biru dengan celana putih yang tampak juga sedang mencari seseorang.

"Nay!"

Dia menoleh ketika gue berlari menghampirinya.

"Hampir aja kamu aku maafin,"

"Nay ... aku gak pernah naik pesawat. J-jadi ... aku gak tahu rasanya ketiduran di sana,"

"Terus?"

"Emm ... hati-hati leher sama punggung kamu sakit, ya."

Naya tersenyum.

"Cuma 6 jam, Do. Aku gak ada rencana ketiduran, kok,"

"6 jam!? terus kamu mau ngapain selama itu kalau gak tidur? Ngelihatin langit yang kosong, menyadari keindahannya dari jarak yang semakin jauh, dan ... dan gini, Nay...."

Sebuah panggilan keberangkatan menggema.

"Aku harus pergi sekarang, Do. Kamu mau ngomong apa tadi?"

Gue ngeblank! Gak tahu mau ngomong apa lagi!

"T-telpon aku dari negeri tirai bambu itu."

Naya tersenyum sambil menyeret kopernya.

"Kangguru, Do. Dah...."

"Hati-hati di jalan ... bilangin supirnya buat gak ngebut, ya!"

Gue belum mau pulang sampai gue ngelihat sendiri pesawat yang akan membawa Naya berangkat. Sambil menendang-nendang kecil bangku yang sedang gue duduki, gue baru ingat kalau gue harusnya bilang sama Naya kalau Dea itu bukan pacar gue! Kenapa gue bisa lupa, sih!?

Setelah di langit malam itu terlihat titik-titik cahaya lampu pesawat diiringi suaranya yang bergumuruh, gak lama gue tersenyum dengan beberapa butir air mata yang menetes. Gue teringat hari di mana gue sama Naya lagi baca buku di perpustakaan sekolah. Gak tahu kenapa di hari itu dia mengambil buku-buku soal penerbangan.

"Do, Do! lihat, deh. Dia itu berat, lho! Tapi, kok bisa terbang, ya?"

Gue yang pada saat itu lagi baca buku soal hama tanaman air cuma melirik gambar pesawat itu sekilas.

"Ya ... dia, kan punya sayap. Makanya bisa terbang,"

"Anak ayam juga punya sayap. Tapi gak bisa terbang setinggi itu, Mardo,"

"Sepupu dari sepupu kakeknya-pun juga gak bisa terbang, Naya ... apa lagi anaknya."

Dia menumpu pipinya dengan tangan di meja, lalu menatap gue.

"Suatu hari aku pengin naik pesawat, Do. Sama kamu."

Kalau aja gue punya cukup uang lebih awal dari hari ini, gue pasti sekarang ikut terbang bareng lo, Nay. Udah semakin malam, walau tempat ini masih belum sepi juga. Gue mau pulang aja. Kembali melewati jalanan yang tadi, hp gue berbunyi tepat di lampu merah.

"Do, gawat! Lo dicariin orang satu kantor! mendingan lo ke sini, deh daripada mereka yang mencari lo."

Ditambah angin malam yang dingin, gue jadi tambah merinding setelah baca WhatsApp dari Mery. Saat-saat begini Sulay lagi ngapain, sih!? Katanya dia rekan gue, tapi dia malah nyuruh gue buat gak ganggu dia. Kampret.

Akan bahaya banget kalau gue ke kantor sekarang sementara pedang gue ada di rumah. Gue yakin, sih gue akan diomelin Si Bos, tapi buat jaga-jaga aja siapa tahu gue juga mau dihajar. Di rumah, terbaring dengan sangat menggoda sepotong roti di meja makan.

"Dea?"

Dea keluar dari kamar gue dan menyerahkan pedang.

"Makan dulu. Habis itu kita langsung pergi ke sana,"

"Kamu tahu dari mana?"

"Ini bahaya, Do. Aku yakin mereka mau misahin kamu sama pedang ini."

Gue duduk sebentar buat makan.

"Kalau ini bahaya, aku rasa mending kamu gak usah ikut, deh. Aku takut kamu kenapa-kenapa lagi,"

"Enggak. Aku harus ikut. Keselamatan kamu lebih penting dari apapun, Do,"

"Aku gak akan kenapa-kenapa, kok. Aku, kan udah makan roti enak ini."

Dea tersenyum tapi juga sedikit cemberut sambil memukul bahu gue.

"Iya, deh aku gak ikut. Tapi kalau aku merasa kamu dalam bahaya, aku gak akan menahan diri buat menyerang ke sana. Oke, Mardo?"

Gue mengangguk saat roti udah tertelan seluruhnya.

"Dea. Emm ... kenapa kamu bilang sama Naya kalau kamu pacar aku?"

Dea mengangkat piring bekas roti tadi.

"Karena ... aku mau itu ... Do."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang