“Berarti … ini perpisahan, ya?”
Mery dan Sulay hanya diam mendengar pertanyaan gue.
“Selamat bertugas, Mardo. Percayakan keamanan kantor kepada saya.”
Torgol bangkit dari kursi. Sebelum pergi, dia menatap Dea lalu menundukkan kepalanya.
“Sejauh apapun lo pergi, lo punya tempat kembali, Do. Kalau malam, gue punya waktu buat ngangkat telpon, kok. Siapa tahu lo kangen gue,” kata Mery.
Rambut poni Dea bergoyang pelan saat dia menatap Mery. Asap merah melayang dari kedua pundaknya.
“Maaf, ya. Mardo itu sibuk. Gak ada waktu buat telponan!”
Mery membalas tatapan tajam Dea sambil menopang dagunya.
“Oh, ya? Sayang banget.”
Mereka berdua yang tatap-tatapan tajam kemudian tertawa kecil. Gue gak ngerti apa-apa. Sambil makan martabak telor, gue ikutan Sulay yang membolak-balikkan berkas abu-abu di atas meja.
“Lo dikasih waktu 3 hari buat persiapan berangkat,” kata Sulay.
“Gue mau tanya, dong. Setelah gue pingsan, emang apa yang terjadi?”
“Rumah hantu dirobohin, para pedagang bubar, panitia sibuk beres-beres. Gitu doang, kok,” sahut Mery.
“Terus mereka gimana?”
“Mereka siapa?” tanya Sulay.
“Y-ya … Rava, Anto, Kali, Levina, Yuri, Nirana, Nita … terus siapa lagi, ya? Ya mereka itu gimana? Gak ada yang luka, kan?”
Dea tiba-tiba memegang bahu kanan gue.
“Do. Harusnya kami yang nanya. Luka kamu gimana?”
Mereka bertiga menunggu gue memberikan jawaban.
“Gak ada yang sakit, sih. Oh iya! Pedang! Pedang aku mana, Dea!?”
Entah dari mana, Dea tiba-tiba meletakkan sarung pedang gue di atas meja di samping cangkir kopinya.
“Pedang kamu gak bisa ditemuin, Do,”
“HAH!?”
“Eh, Do. Lo itu melayang 100 meter dari kantor. Sarung pedang lo aja ditemuin 7 meter dari lokasi lo jatuh. Bahkan Dea butuh waktu buat nemuin lo,” sahut Sulay.
“Emang iya, Dea?”
“Untuk beberapa saat, kamu itu kayak hilang dari dunia ini, Do.”
Gue teringat sama hutan Janamana dan Pkakuk. Dea kayaknya ngerasa kalau gue punya ingatan itu, tapi dia memilih untuk diam.
“Terus gimana caranya gue pergi jauh tanpa bawa Roksi?”
Sulay bangkit dari Kursi.
“Yaudah ayo kita cari pedang lo. Mumpung masih pagi.”
Anehnya, Dea gak ikutan gue berdiri.
“Ada apa, Dea?”
“Emm … Do. Boleh gak aku di sini sebentar lagi? Ada yang mau aku obrolin sama Mery.”
Gue menatap Mery, lalu menatap Sulay.
“Boleh, kan, Pak?”
“Terserah. Ayo jalan!”
Gue benar-benar gak tahu apa yang terjadi sama Dea terutama waktu gue pingsan. Gue cuma berharap dia gak disakiti siapapun di kantor ini. Dan gue harap Mery juga gak digangguin Dea.
Di luar kantor, tepatnya di halaman sebuah ruko dua lantai yang sampai sekarang gue gak ngerti kenapa bisa gede banget di dalam tapi kecil dari luar ini, gue memperhatikan sekeliling yang masih ada beberapa sampah kecil dari para penjual makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...