Gue dan Sulay mengunjungi tim informasi di ruangan paling ujung. Kalau gue gak salah, dua ruangan sebelum ini, gue melihat ada sebuah ruangan yang pintunya transparan sehingga gue bisa melihat sekilas. Di sana gue melihat banyak orang dalam akuarium besar, dan semuanya gak kayak manusia. Karena Sulay jalannya cepat banget gue jadi gak sempat nanya ke dia.
"Do, mereka memang kerja khusus buat nyari informasi. Jadi lo mending diam aja. Kalau ada yang nyoba nanya-nanya soal lo atau soal pedang lo, lo senyum aja. Paham, kan?"
Gue mengangguk. Kami membuka pintu.
"Kami dari tim lapangan. Mohon kerjasamanya," kata Sulay, kepada cewek-cewek berwajah pucat dengan baju putih.
"Baik, Pak," sahut salah satu dari mereka, yang satu-satunya berkulit normal.
Mereka segera menyusun berkas dan menyerahkannya kepada Sulay. Saat beberapa cewek mendekati gue sambil menatap pedang yang gue pegang, Sulay segera mendorong gue dan keluar ruangan.
"Bego lo!" kata Sulay.
"Hah? Kata Bapak tadi gue senyum aja,"
"Gue bilang, kan kalau lo ditanyain baru lo senyum gak usah jawab, bukan malah senyum ke mereka satu-persatu!"
"I-iya yaudah maaf, Pak,"
"Nih, lo pelajarin berkasnya. Gue mau ke toilet dulu."
Gue duduk di kursi panjang, tepat berseberangan dengan ruangan transparan yang gue bilang tadi. Gue membuka berkas, membacanya dengan teliti, merekam wajah target kami baik-baik dalam ingatan gue. Beberapa poin penting yang gue tangkap adalah: namanya Alan, usia 17 tahun, punya banyak pacar, emosi gak stabil, suka berantem, dan secara misterius gak pernah berhasil ditangkap polisi.
Gue masih membuka-buka berkas itu, lalu gue mendengar ada suara ketukan dari pintu di depan. Saat gue menatap ke arah suara, gue kaget banget karena ada orang berdiri dari balik pintu sambil menatap gue. Gue yakin itu cowok, tapi yang bikin aneh adalah kepalanya lonjong ke atas dan rambutnya gondrong. Yang bikin mukanya serem adalah bibirnya yang kayak paruh ayam. Dan dia mengetuk pintu dengan bibirnya itu sambil menatap gue.
Waktu SMP gue pernah melihara ayam dalam kardus, dan gak sampe seminggu dia mati karena keseringan matuk-matukin kardusnya sendiri. Berbekal empati dan pengalaman itu, gue menutup berkas dan berjalan mendekati pria itu. Sekarang, hanya kaca transparanlah yang membatasi kami.
"Nama kamu siapa?" tanyanya.
"Mardo ... Pak,"
"Saya Torgol. Kamu dari tim mana?"
"Lapangan, Pak."
Dia langsung bertepuk tangan dan mematuk kaca lagi. Bikin kaget aja!
"Berarti kamu jago berantem, kan?"
"Enggak, Pak. Tapi saya jago megintai."
Dia melirik ke segala arah. Ke teman-temannya di belakang, ke luar ruangan, dan ke pedang gue.
"Mardo, kita ini sebenarnya bisa bekerjasama. Saya bisa bikin kamu jadi jago berantem, dan kamu bisa bikin saya gak kesakitan lagi di dalam sini."
Gue segera menyembunyikan pedang gue ke belakang. Merasa bahwa orang ini punya rencana jahat.
"Coba kamu perhatikan ini."
Dia mundur selangkah, dan ketika muncul asap hitam dari tubuhnya dia langsung berubah menjadi burung kecil. Gue takjub banget. Dia terbang dengan lincah dan sangat cepat! Saat dia menabrakkan diri ke kaca di depan gue, dia kembali berubah ke wujud awal. Membuat suara tabrakkan yang nyaring! Dan ketika gue perhatiin, gak ada retakan di kaca itu. Keren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...