BAB 59: Sebuah Pencurian

57 7 0
                                    

Gue langsung pengin patroli keliling kuburan buat nyari pelakunya begitu mendengar penjelasan dari Kang Terek. Dia ini udah baik banget sama gue, lho. Dia juga orang pertama yang ngelihat Dea tanpa rasa curiga. Bahkan waktu itu dia ngasih Dea es krim gratis. Di samping gue, Dea yang baru aja gue lepasin tangannya juga tampak kesal.

"Mohon maaf, Kang ... kalau boleh tahu kapan kejadiannya? Dan berapa uang yang hilang?" tanya Dea.

"Tadi magrib, Mbak ... hilang 238 ribu dari dalam laci. Padahal saya gak pernah ninggalin gerobak. Kalau yang kemarin-kemarin udah saya ikhlasin."

Cewek berambut merah itu memandangi kami berdua sejak tadi.

"Sorry, sebenarnya kalian berdua ini siapa, ya?" tanyanya.

"Kami ... emm ... petugas ... petugas kejadian misterius. Iya, itu dia. Kami petugas kejadian misterius," sahut gue.

"Emang iya? Kayak gak meyakinkan gitu," jawabnya.

Dea cuma membalas dengan senyuman.

"Gini, Kang, kalau boleh ... kami mau bantu cari uangnya sekalian nangkap pelakunya," kata gue.

"Maaf, nih ... saya jadi ngerepotin banyak orang. Terima kasih, Mas ... Mbak."

Investigasi gue mulai dari gerobak es krim Kang Terek. Kami memperhatikan laci tempat beliau menyimpan uang. Emang bukan sebuah laci yang aman, tapi berdasar pengakuan Kang Terek yang gak pernah ninggalin gerobaknya, maka harusnya mustahil kalau ada orang yang nekat mau ngambil.

"Dea, gimana pendapat kamu?"

"Udah jelas ini bukan kerjaan manusia, Do. Aku yakin pelakunya berasal dari belakang kita."

Gue menatap tanah pemakaman luas yang remang-remang.

"Jadi gimana? Kita masuk?"

Dea menggigit bibirnya, tampak mengkhawatirkan sesuatu.

"Mending kita tunggu aja, Do. Kalau laci ini diisi uang lagi, aku yakin pelakunya akan tertarik,"

"Ide bagus, tuh. Kita tunggu di mana?"

Kang Terek kami arahin buat kembali ke belakang gerobaknya. Wajahnya tampak murung, capek, dan sedih semuanya bercampur malam ini. Di lacinya, gue letakkan uang 300 ribu. Biasanya gue kehilangan uang 2 ribu rupiah aja udah galau. Sekarang, gue ngasih 300 ribu buat orang lain dan malah terasa nikmat. Keuangan emang ajaib.

Berbeda dengan Dea yang tampak fokus menunggu kedatangan pelaku, gue justru sesekali memperhatikan dua orang cowok dan cewek pemilik usaha sate kambing yang sedang berkemas itu.

"Fokus, Do," ucap Dea tanpa mengalihkan pandangannya.

"I-iya, siap!"

Tiba-tiba, tampak sebuah bayangan putih yang tingginya hanya sebatas roda gerobak berlari dari arah kuburan. Gerakannya cepat banget! Bayangan itu tampak berusaha mendekati laci gerobak Kang Terek!

"Itu dia, Do!"

Dea langsung berlari mengejar, dan gue berlari ngejar Dea.

"Tangkap, Do!"

Kang Terek kebingungan ngelihat kami berdua yang berlari memutari gerobak es krimnya.

"Kang! Amanin uangnya, Kang!" kata gue.

Kang Terek baru aja membuka laci, dan tampaklah sebuah tangan kecil yang berusaha menjangkau uang itu! Dengan cepat gue berusaha menangkap tangan putih kecil itu. Kang Terek lebih cepat mengambil uangnya, membuat tangan itu berhenti dari aksinya lalu dengan cepat menghilang.

"Kejar, Do!"

Dea berlari mengejar bayangan itu masuk ke pemakaman. Ketika kira-kira Kang Terek udah gak bisa ngelihat ke dalam, barulah Dea menggunakan asap merahnya. Dan tentu aja, serangan duri-duri Dea berhasil membuatnya melambat hingga akhirnya terkapar di antara batu nisan.

Gue baru aja sampai, berdiri di samping Dea yang berjongkok memandangi makhluk putih itu. Sebuah duri kecil berasap merah menancap di kaki kirinya. Gue tahu itu pasti sakit banget dan bikin dia gak bisa jalan. Persis kayak kejadian Mery waktu itu.

"A-anak k-kecil!?"

"Ini tuyul, Do. Mereka emang suka ngambil uang orang,"

"T-terus!? Dia gak m-mati, kan?"

Dea menarik duri kecil itu hingga membuatnya kembali melebur jadi asap merah.

"Aku gak suka anak-anak, Do. Kamu aja yang urus."

Dea lalu berdiri dan mundur ke belakang gue. Sambil merapikan poninya, matanya mengisyaratkan agar gue segera berjongkok mendekati makhluk itu. Makhluk kecil putih yang kata Dea bernama tuyul ini tampak ketakutan. Dari gelagatnya, gue tahu dia sedang menunggu celah buat kabur.

"H-halo ... kamu belum m-mati, kan?"

Bola matanya yang besar menatap gue dengan rasa takut.

"Gini ... emang benar, ya kamu yang ngambil uang penjual es krim itu?"

Dia berusaha duduk dengan perlahan, dan belum bersuara apapun.

"Udah pasti dia, Do. Mendingan kamu langsung tanyain aja siapa yang nyuruh dia," sahut Dea.

"Emang ada yang nyuruh dia?"

"Pasti ada," sahut Dea.

Awalnya gue berusaha membantunya berdiri, tapi justru niat baik gue malah dibalas dengan tangan gue yang digigit makhkul kecil botak ini! Dia langsung kabur cepat banget melewati dua kaki gue.

"Do! Kamu gak apa-apa!? Sakit, ya!?"

"Enggak ... enggak ... aman, kok. Kaget aja. Ayo kita kejar dia."

Dea berubah menjadi asap merah dan melesat cepat mencari bayangan putih itu. Gue memperhatikan tanah, berharap menemukan jejak atau sebagainya. Kira-kira 15 menit berlarian tanpa hasil, gue memutuskan buat kembali ke tempat Kang Terek. Karena siapa tahu aja, ketika gue sama Dea sibuk nyari di kuburan, eh malahan tuyul tadi kembali ke gerobak.

Gerobak Kang Terek tampak udah rapi. Mungkin beliau udah mau pulang. Gerobak sate di sebelahnya juga udah tutup. Untungnya mereka bertiga masih di sana. Gue segera menghampiri dengan napas tersengal.

"Gimana, Mas?" tanya Kang Terek.

"T-tuyul, Kang. S-saya gak berhasil nangkap dia."

Cewek berambut merah di sebelahnya tampak gak percaya dan malahan mau ketawa.

"Sorry, kayaknya lo halu, deh," ucapnya.

"Begini, Mas ... saya orangnya percaya gak percaya sama hantu-hantuan. Tapi apapun itu, saya berterima kasih karena sudah mau nolong saya."

Tanpa menunggu Dea kembali, mereka bertiga membubarkan diri. Kang Terek mendorong gerobaknya, dan dua orang penjual sate tadi pergi dengan motor masing-masing. Napas gue akhirnya kembali normal ketika gue memandang sekeliling yang udah sepi.

Segumpal asap merah jatuh dari langit ke depan gue, dan tampaklah Dea dengan wajah kesalnya. Dia membenarkan poninya sebelum mulai bersuara.

"Dia kabur, Do. Kesel, deh!"

"Yaudah, lah. Yang penting Kang Terek masih bawa uang buat pulang. Yuk kita pulang juga,"

"Gak mau! Aku mau lanjut nyari dia sampai ketemu."

Dea menghilang dari pandangan. Padahal gue kira malam ini udah selesai, dan gue bisa pulang ke rumah, rabahan di kasur gue yang nyaman sambil dengerin lagu-lagu santai lewat speaker bluetooth gue. Ternyata, gue malah kembali masuk ke pemakaman buat nyari tuyul.

Nyari tuyul botak kecil pelari di malam hari di habitat asalnya itu sama aja kayak nyari jodoh waktu kita gak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sama-sama hampir mustahil. Karena menyadari hal itu, gue memutuskan buat duduk di pinggiran kuburan yang agak terang.

Gue menengadah, memandangi bentangan langit malan bertabur bintang kelap-kelip yang menyelimuti gue. Padahal sebenarnya gue berada di tengah-tengah keramaian, tapi nyatanya gue sendirian di sini. Langit emang paling bisa membuat gue merenung. Heran.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang