That Should Be Me

1.2K 237 30
                                    

Zee menyeka keringatnya sendiri dengan lengan baju. Dia baru saja selesai berjuang menyelamatkan nyawa seorang pasien lewat operasi yang berlangsung cukup lama karena banyaknya luka yang di alami pasien. Berkat kerja kerasnya kini sang pasien selamat tinggal menunggu pemulihannya saja.

Selesai dengan tugasnya Zee pun membersihkan dirinya karena sebelumnya dia tidak sempat mandi saat mendapat panggilan mendadak dari rumah sakit. Setelah mandi Zee nampak begitu segar meski dia hanya tidur beberapa jam saja.

Tok

Tok

"Ya...masuk aja."
Ujar Zee yang terlihat lelah duduk di kursinya.

"Teh nya Dok."
Ujar seorang perawat yang baru masuk itu.

"Ah iya...taruh sini."

Secangkir teh panas pun di letakan di meja Zee. Aroma teh melati langsung masuk ke indra penciuman Zee membuatnya rileks kembali.

"Mau saya pesankan sarapan sekalian, Dok?."
Ujar perawat itu menawarkan Zee sarapan sekalian karena pasti Zee belum sarapan setelah selesai operasi.

"Engga perlu, saya bisa sendiri nanti. Terimakasih ya buat teh nya."
Jawab Zee.

"Sama sama Dok. Saya permisi kalau gitu."

"Silahkan."

Setelah pintu tertutup Zee mulai beranjak menarik cangkir Tehnya. Mencium aromanya lebih dekat membuatnya merasa tenang sesaat.

"Jadi kagen teh buatan Marsha. Lebih harum dan nikmat."
Gumam Zee sambil memandang teh di cangkirnya.

Mau sampai kapanpun, mau dimanapun, mau seperti apapun keadaannya dan apapun itu yang Zee pikirkan pasti tak jauh dari sosok Marsha. Cinta pertama Zee yang tidak mudah dilupakannya.

Zee dan Marsha memang baru berpisah sekitar dua tahun yang lalu. Meski sudah lama tapi kenangan manis itu masih melekat pada benak Zee. Zee berharap juga Marsha masih menyimpan sedikit kenangan bersamanya meski itu tak mungkin.

Waktu berpacaran yang memakan waktu paling banyak membuat banyak sekali kenangan tercipta. Waktu bersama selalu tercatat jelas di benak Zee karena dunianya berputar hanya pada satu poros yaitu Marsha.

Zee terus menghela nafas beratnya. Sudah dua hari Marsha sulit dihubungi membuatnya rindu berat apalagi pada sosok putrinya. Dia yang tidak bisa menghubungi Jinan atau Cindy kedua mantan mertuanya itu pun tak bisa berbuat banyak hanya bisa menunggu saja.

"Michi pasti belum bangun. Jadi kangen bangunin dia setiap pagi."

Jari telunjuk Zee diarahkan ke atas cangkir. Mengusap pinggirannya membuang uap yang menempel disana.

"Hemm...apa bisa semua kembali ke semula?."
Ujarnya sambil terus memutar waktu kebelakang disaat semuanya baik baik aja.



Di lain tempat sosok yang menjadi topik pembicaraan Zee tengah duduk di sebuah bangku. Di depannya ada putri kecilnya yang tengah berbaring. Wajah pucat dan suhu badan yang tinggi membuat sosok yang duduk itu tak bisa bergerak kemanapun. Khawatir dan juga takut terjadi hal buruk memenuhi isi pikirnya.

"Sha, kamu masih engga mau kasih tau Zee soal keadaan Michi?."
Cindy duduk di sofa belakang Marsha. Semalaman dia ikut menjaga cucunya yang tengah di rawat di sebuah rumah sakit.

"Buat apa,Ma."
Jawab Marsha lirih.

"Buat apa? Ya buat kasih tahu kalau anaknya sakit. Kamu mau sampai kapan sih seperti ini?."
Cindy berkali kali membujuk Marsha untuk segera memberitahu Zee mengenai keadaan Michi saat ini yang tengah di rawat di rumah sakit akibat demam yang tak kunjung turun. Tapi berkali kali juga Marsha menolak karena dia merasa masih sanggup mengurus anaknya sendiri.

One shoot (ZeeSha)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang