"Gimana, Zee?. Demi kebaikan Marsha, mama rasa kamu harus lepas dia."
Ucap Shani pada anak lelakinya.Anin baru saja pulang setelah menjelaskan pada Shani dan Gracio selaku orang tua Zee mengenai perbuatan anak mereka terhadap Marsha selama menikah dan tinggal bersama. Shani dan Gracio tidak menyangka bahwa anaknya sejahat itu pada Marsha. Mereka pikir, Zee benar benar memperlakukan Marsha dengan baik. Mereka terlalu percaya pada apa yang mereka lihat ketika Zee datang ke rumah mereka bersama Marsha, Zee sangat baik dan se peduli itu pada Marsha. Tak tahu mereka bahwa Zee hanya manis di depan tapi pahit di belakang.
"Huh. Zee ngga bisa lepasin dia. Zee.."
"Apa? Kamu mau siksa dia dalam waktu yang lama? Papa ngga setuju ya!."
Ujar Gracio geram. Dia yang dulu menyetujui ide gila anaknya ini seketika menyesal telah menyetujui bila Marsha menikah dengan Zee dengan syarat hutang keluarga Marsha akan lunas. Gracio pikir, Zee benar benar mencintai Marsha maka dia setuju ide anaknya. Alangkah terkejutnya dia baru mengetahui sifat anaknya yang temperamen setelah menikah dengan Marsha."Pa, Zee cuma emosi waktu itu. Zee cape dan kebetulan Zee dapet celah buat marahin dia. Zee kelepasan."
Ungkap Zee yang entah jujur atau bohong. Gracio sulit membedakannya."Kelepasan kamu bilang? Terus apa tadi kata mama mertua kamu bilang? Dia bilang Marsha sering kali pulang ke rumah setelah ribut sama kamu. Bahkan ngga cuma itu, dia pernah luka lebam dan berdarah?. Zee, kamu udah keterlaluan!!."
"Cio!! Cukup!."
"Apa? Kamu mau bela anak kamu ini? Iya?! Bela aja terus. Asal kamu tahu, anak manja kamu udah buat anak sahabat papanya menderita!!. Mau di taruh mana wajah papa ini, Zee."
Gracio tak habis pikir. Dia tidak pernah mengajari atau bahkan tidak pernah menunjukkan kekesalannya pada siapapun. Lalu, dari mana Zee mempelajari sifat kerasnya itu.Jika Zee broken home, maka dia akan meniru apa yang dilakukan kedua orang tua nya. Tapi, selama ini Zee selalu hidup bahagia tanpa kekurangan apapun,,aneh ketika dia berubah menjadi temperamen.
"Pa. Dia hanya belum bisa mengendalikan amarahnya. Dia masih labil."
Bela Shani."Labil? Shan, dia tahun ini 23 tahun loh. Harusnya udah dewasa. Kalau masalah sepele aja dia marah, gimana kalau masalah besar? Marsha pasti akan mendapat perlakuan lebih dari ini."
"Pa, ma. Zee minta maaf udah kecewain kalian. Zee bener bener menyesal."
"Hah. Baru sekarang kamu menyesal? Setahun kamu kemana aja?."
"Kalian juga kemana?! Kalian ngga tahu kan hidupku enak atau ngga di rumah itu!. Kerja seharian cari uang! Buat siapa? Buat aku, dan Marsha. Selama ini kalian angkat tangan, kalian berfikir aku udah hidup enak. Nyatanya engga. Ngga sama sekali. Nyatanya aku masih butuh kalian."
"Tapi tidak dengan kekerasan, Zee. Kamu bisa ngomong ke kita kamu butuh apa, kamu kesusahan atau ngga. Kamu bisa cerita."
"Emang kalau Zee cerita, kalian mau bantu?!."
"Tergantung lah!."
Zee dan Gracio sama sama keras. Bila ada masalah sedikit, mereka akan saling berteriak untuk menyelesaikan nya.
"Waktu itu aku bener bener cape. Proyek aku gagal. Dan pulang dalam keadaan marah. Makanya aku marahi Marsha. Selain itu aku ngga pernah marah sama dia. Hanya sesekali."
Ucap Zee yang perlahan memelankan suaranya."Tapi papa ngga membenarkan kelakuan kamu. Kalaupun kamu marah atau apa, harusnya kamu ngga melampiaskan nya ke Marsha. Dia ngga tahu apa apa."
Gracio juga mulai mereda."Maafin mama dan papa. Yang justru jadi sibuk setelah kamu menikah. Kami pikir, kamu bisa hadapi itu semua bareng Marsha, ternyata kami salah. Maafin kami ya?."
Shani memeluk anaknya.