Petunjuk (49)

512 47 2
                                    

****AKBAR POV****

"maaf bu, apa ibu pernah melihat orang ini?"
Sembari menunjukkan foto Abri, kami terus bertanya pada orang yang kami temui.

"tidak maaf"

Hanya itulah jawaban yang kami dapatkan.
Benar-benar sulit.....

"ughhh aku sudah lelah..... "

"bertahan jab"

"Rajab benar bar, kita harus istirahat dulu, kita tidak bisa memaksakan diri kita sendiri"

"tapi gus..... "

"ssst.... Duduklah dulu"
Kami akhirnya duduk di kursi taman yang ada di dekat kami.

"sudah jam 8 malam, apa kita lanjutkan besok saja?"
Tanyaku.

"sepertinya begitu, kita semua juga sudah terlalu lelah"

Drrrrt....
Drrrrt....
Drrrrt....

"dari ayah Fahmi, halo om"
Gusti mengangkat telpon dari ayah Fahmi.

"bisa kalian ke kantor polisi? Ada sesuatu yang om temukan dengan rekan-rekan om"

.
.
.

****ABRI POV****

"mmm! Masakanmu sangat enak bri! Hampir seperti masakan ibuku"
Ari memuji masakanku.

"haha, tidak perlu memujiku seperti itu"

"tapi serius, ini enak sekali, kakakku saja kalau memasak pasti kalau tidak keasinan paling hambar"

"jangan begitu, tapi.... Kak Rahmat dimana?"
Tanyaku.

"paling di halaman belakang bri, rutinitasnya setiap malam"

"rutinitas?"
Hmm........
"apa dia sudah makan malam?"
Tanyaku.

"dia akan makan kalau dia lapar, itulah sikapnya, walaupun di panggil berapa kalipun kalau memang dia belum mau ya dia tidak akan makan"

"hmm.... Begitu ya, tapi sisakan makanan itu untuknya"

"siap"

"aku ke kamar mandi dulu"
Akupun beranjak dari dapur dan berjalan menuju kamar mandi yang dekat dengan halaman belakang.

Setelah keluar dari kamar mandi....

Bugh!
Bugh!
Bugh!

Aku mendengar suara dari halaman belakang.
Aku mengintip dari balik tirai jendela dan melihat kakak Ari, Kak Rahmat sedang memakai pakaian serba hitam khas persilatan. Dia terus memukul samsak yang tergantung di depannya.
Ekspresinya juga terlihat benar-benar serius.

"kalau kau mau melihat, keluar saja"
Ucapnya saat sadar bahwa aku mengintipnya.

Aku dengan gemetar segera keluar dari balik tirai dan berjalan keluar dari pintu.

"m...maaf kak"
Ucapku tertunduk.

"tidak apa-apa"
Katanya sambil duduk di lantai.
"kemari"
Kak Rahmat memanggikku untuk duduk dengannya.
Akupun berjalan ke arahnya lalu duduk tepat di sampingnya.

"kau tahu?, bunuh diri adalah hal terbodoh yang beberapa orang pernah lakukan"

"uhh...... "

"hm"
Kak Rahmat tersenyum.
"melihatmu membuatku teringat saat aku juga melakukan hal yang sama"

"m..maksud kakak....."

"dulu aku juga pernah, frustrasi karena kedua orangtuaku tiada membuatku kehilangan arah dan memilih jalan yang salah"
Aku terdiam mendengarnya bicara.

"tapi justru yang aku lakukan itu malah membuat orang yang kusayangi harus mengorbankan apa yang dia punya"

Mengorbankan?
Apa maksudnya?

Kak Rahmat tiba-tiba mengangkat bajunya dan memperlihatkan bekas jahitan di perutnya.

"aku mencoba menusuk diriku sendiri hingga membuat salah satu ginjalku harus di angkat, sebelumnya ginjalku yang satunya juga sudah tidak dapat berfungsi dengan baik jadi bisa di katakan keduanya sudah rusak"

Apa pengorbanan yang dia maksud adalah.....

"tapi Ari malah mendonorkan salah satu ginjalnya untukku, aku benar-benar telah menyesal melakukan itu, kini adikku sendiri juga harus menanggung deritaku, kau mengerti maksudku?"
Kak Rahmat memalingkan wajahnya ke arahku.
Aku hanya diam tetap tidak merespon.

"biar ku beritahu bri, sayangi hidupmu, karena..... Kau tidak tahu kalau masih ada orang lain yang menyayangimu selain dirimu sendiri"

Fahmi...
Bang Ridwan....
Bang Akbar....
Bang Said....
Ibu.....
Ayah.....
Teman-temanku....
Kakakku.....

Tiba-tiba aku teringat dengan mereka.
"kakak benar, aku.... Hiks"
Air mataku mengalir, kini aku sadar kalau selama ini yang aku lakukan hanyalah hal-hal bodoh yang membuat orang lain menderita.

"sudahlah, kau hanya perlu mengontrol emosimu saja, jika kau mudah mengontrol emosimu, maka kau juga bisa mengendalikan apa yang akan kau lakukan"

"c...caranya?"

"kau perlu penguasaan diri bri, dan aku bisa mengajarimu"

"k...kalau begitu...... Kalau begitu tolong kak! Aku akan melakukan apa saja"
Aku memohon pada kak Rahmat.

"kau tidak perlu sampai menunduk seperti itu, sudah seharusnya sesama manusia saling menolong"

.
.
.

****GUSTI POV****

"lihatlah ini"
Om Darwis menunjukkan rekaman kamera pengawas dari sebuah ruko di dekat jembatan besar.
"kalian lihat orang yang berdiri di tepi jembatan itu?"
Om Darwis menunjukkan seseorang yang berdiri tepat di pinggir jembatan.

"itu seperti pakaian Abri! Tidak salah lagi! Gusti itu Abri!"

"iya jab tenang dulu"

"akhirnya, syukurlah kita bisa menemukan petunjuk soal Abri"

"ya, tapi ada hal lain yang bisa menjadi kabar buruk bagi kita"
Perasaan kami jadi tidak enak saat om Darwis mengatakan itu.
"percepat videonya"
Om Darwis menyuruh seorang polisi untuk mempercepat rekaman video itu.

Dan....

"ASTAGA!"
"ABRI!!!!!!!!!!"

Sangat jelas Abri melompat dari jembatan itu.

"t...tidak..... Tidak mungkin......... "
Akbar terduduk di lantai dengan Ekspresinya yang terlihat syok.
"itu bohong kan?! Pasti itu bukan Abri! Pak orang di rekaman itu bukan Abri! Abri pasti masih hidup!"

"iya om, Abri pasti masih hidup! Kami akan terus mencari Abri!"
Kata Rajab dengan tegas.

"kami juga berharap seperti itu, kami akan segera menyiapkan tim pencari untuk mencari Keberadaan Abri di sekitar sungai itu"

"Tidak! Abri tidak mungkin...... Abri..."

"bar tenang! Tenangkan dirimu!"
Akbat benar-benar terlihat sudah hilang akal.

"sebaiknya kalian pulang sekarang, hari sudah sangat malam"
Ucap om Darwis.
"om juga akan ke rumah sakit, Fahmi belum juga sadar dan kondisinya juga masih sangat kritis"

"i....iya om"

*****

Omong-omong Ivan dan Ardi kemana ya?

Jangan lupa vote :D

SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang