Irfan (102)

313 30 2
                                    

Rumah Sakit.....
01:28 Dini Hari.

"mmm....."
Aku terbangun.
Mataku melotot melihat Irfan tertidur sambil bersandar di bahuku.

Bahu ini hanya untuk Abri!
Apa yang kau lakukan di situ?!

Inginku mengungkapkan semua itu, tapi takutnya dia malah mengadu pada Abri.

Eh? Ivan dimana?
Aku kini hanya berdua saja dengan Irfan.

Brak!

Aku sangat kaget mendengar suara seperti benda jatuh barusan.
Irfan juga jadi terbangun karena suara barusan.

"hmm? Ada apa?"
Tanyanya yang terlihat sedikit bingung.
"Fahmi? Ahh kita di rumah sakit, jam berapa sekarang?"

"jam 1 malam"
Jawabku ketus.

"wah sudah larut sekali ini, Abri dimana? Dia belum kembali?"

Benar juga, kenapa Abri dan Akbar belum datang juga?
Ataukah mereka sudah kembali saat aku tidur?
Tapi tidak mungkin mereka pergi tanpa membangunkanku!
Apalagi Abri tidak mungkin meninggalkan Irfan.

"Fahmi"

Aku kemudian mencoba menghubungi Abri, Akbar, Ivan dan bahkan Gusti.
Tapi tidak ada yang mengangkat telponku!

"Fahmi!"

"Apa?!, uh maaf!"
Aku jadi kelepasan membentak Irfan.

"tidak apa-apa, tapi itu........ "
Irfan menunjuk ke arah Pintu kamar, ada sebuah tangan di situ.

"AAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Aku dan Irfan berlari menjauh dari sana saat melihat tangan itu.
Rumah sakit ini sepertinya sangat angker di jam-jam tertentu!

Kami terus berlari sampai keluar ke area taman Rumah sakit.

"t..tadi itu apa?!"
Tanyaku.

"tanganlah! Kau pikir itu apalagi?"
Jawab Irfan.

"tapi tangan siapa?!"

"sudahlah!, tadi itu sangat menyeramkan!"

"tentara macam apa kau ini?!"

"kenapa malah bawa kesatuan?! Kau sendiri polisi macam apa yang tertidur saat bertugas menjaga?"

"apa?! Kau berani macam-macam denganku?!"

"kau yang mulai lebih dulu!"

Puk!

"AAAAAAAAAA!!!!!!!!!!"
kami berdua kembali lari saat tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundak kami masing-masing.

Kini kami kembali masuk ke area rumah sakit dan berhenti di sebuah lorong.

"ini rumah sakit macam apa?!"
Irfan sudah emosi.

"Omong-omong kita dimana?"
Aku lalu melihat sebuah tulisan yang ada di atas pintu kamar di depan kami.

Kamar Jenazah.

"ehhh kita pindah dulu dari sini"
Aku menarik tangan Irfan pergi dari situ.

Kami berjalan kembali, hendak mencari kamar tempat Rajab di rawat.
Tapi seluruh sudut di rumah sakit ini sudah gelap, hanya beberapa lampu saja yang menyala itupun sangat remang.

"kita tadi lari dari sana"
Kata Irfan sambil hendak berjalan ke arah kanan.

"tidak! Kita tadi dari sana"
Sementara aku ingin berjalan ke sebelah kiri.

"bicara apa kau?! Jelas-jelas tadi kita lari dari sana!"
Irfan mulai emosi lagi.
Tentu saja aku juga jadi naik pitam kalau dia seperti ini.

"Irfan Pamannya Abri yang tersayang, kita tadi lari dari sebelah kiri!"

"tidak! Kita tadi dari kanan!"

"uh! Kiri!"

"kanan!"

"kiri!"

"kanan!"

"Mi...... Fan...... "

"AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!"

.
.
.
.
.

Kamar Mandi......

Kami lari ke kamar mandi sesaat setelah mendengar suara itu. Benar-benar mencekam!
Apa benar rumah sakit ini ada penunggunya?!

"Fahmi maafkan aku, mungkin aku agak terbawa tadi..... "
Irfan menundukkan kepalanya.

Sepertinya dia menyesal sudah membentakku tadi....
Baguslah!
Kemenangan untukku!

Tapi.....
Aku jadi merasa bersalah juga, aku kan tadi juga agak terbawa.

"aku juga mau minta maaf, mungkin... Aku agak berlebihan saat marah tadi"
Ucapku.

"tidak masalah, aku tahu kau pasti cemburu kalau aku terlalu dekat dengan Abri"

Sadar juga dia...
Tapi.....
Akhhhhh kenapa aku jadi tidak enak dengannya begini?!

"maaf, sekali lagi aku minta maaf, tapi jangan bilang soal ini pada Abri, aku takut...... Dia marah padaku"

Irfan tersenyum.
"Abri itu sangat polos, dia tidak mungkin tahu"

"maaf ya"
Aku memeluk Irfan dan dia juga balas memelukku.

Kriiiiiik......

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan......

"Fahmi jahat!!!!!!!!"

Brak!
Abri langsung membanting kembali pintu kamar mandi itu dengan kuat.

"bri! ABRI!!!!!!!!!!!!! arghhhhhh ini semua karenamu!"

"hei?! Kau yang duluan memelukku!"

"kenapa kau memelukku balik?! Lihat sekarang Abri sudah menganggap aku selingkuh!"

"itu salahmu sendiri"

"apa?! Kau harus membantuku minta maaf padanya!"

"maaf, tapi kali ini benar-benar salahmu sendiri"

"arghhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!"

.
.
.
.
.

"Ohhh begitu..........."
Ucapku dan Irfan bersamaan setelah mendengar penjelasan dari Ivan.

"aku tinggal ke kamar mandi saja kalian sudah hilang, mana Rajab jatuh dari ranjang kalian tidak bantu"

"maaf van...... Kami tidak tahu"
Kataku.

Sementara itu aku terus memeluk Abri dari belakang untuk menggodanya.
Dia benar-benar marah padaku.

"lalu kenapa kalian berdua pelukan di kamar mandi?!"

"maaf bri, itu tadi aku hanya minta maaf sama Irfan"

"jelaskan!"

"aku dan Irfan sempat bertengkar, jadi tadi kami berdamai......."

"bertengkar?"
Abri semakin curiga.

"huffff...... Fahmi cemburu kita terlalu dekat bri"

"fan!"

"hah?! Cemburu? Ahhhh sayang..... "
Abri malah balas memelukku.

"kan aku bilang"
Kata Irfan tersenyum.

"hehehe iya ya"

"tapi kenapa kalian berdua pergi meninggalkan Rajab?"
Tanya Akbar.

"kalian...... Kalian takut ya?!"
Ivan menerka-nerka.

"t...tidak! Takut? Sama apa?!"

*****

Jangan lupa Vote :D

SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang