2009, di pinggir Jakarta
"NEK, Non pergi dulu ya. Doain biar dapat banyak." Bersimpuh di samping kasur yang lebih mirip selimut tebal lusuh, gadis itu mengambil tangan keriput orang tua yang dia panggil nenek. "Ini makan buat Nenek ya." Dia menunjukkan sebuah rantang bersusun tiga. "Sudah Non siapin, Nenek habisin ya."
Nenek yang hanya bisa terlentang pasrah itu mengangguk dan memberikan senyum lemah.
"Non pergi ya."
"Hati-hati, Non," bisiknya.
Gadis itu tersenyum dan bergerak lincah bersama restu sang nenek yang menemani sepanjang harinya yang berat. Meninggalkan gubuk berdinding kardus beratap plastik yang dia sebut rumah.
***
Gadis itu berpakaian lusuh. Dia bernyanyi di atas sebuah bus diiringi alat musik ritmik dari botol yang diisi sejumput beras. Suaranya cukup nyaman di telinga. Tidak terlalu bagus tapi paling tidak suaranya tidak membuat telinga berdenging. Berdiri tanpa berpegangan tangan, b*k*ngnya bersandar di kursi depan sebagai ganti tumpuan berdirinya. Dia tidak bisa berpegangan karena dua tangannya dia gunakan untuk menghasilkan suara dari alat musik sederhananya.
Satu lagu selesai, dia sambung dengan lagu lain. Panggungnya adalah bus sedang berwarna oranye yang terkenal dengan keterugalugalannya di jalan-jalan ibukota. Bus itu akan berhenti di mana saja seadanya calon penumpang dipinggir jalan melambaikan tangan menghentikan lajunya lalu sebelum kaki penumpang itu kokoh menjejak lantai bus, supir sudah tancap gas. Membuat tubuh tersentak ke depan ketika berhenti lalu tak berjeda lama langsung tertarik ke belakang ketika bus kembali bergerak.
Gadis itu tetap berdiri dan bernyanyi meski tubuhnya ikut maju mundur seirama tekanan pedal gas dan rem yang tidak manusiawi. Dia terus bernyanyi mengabaikan penumpang yang naik atau turun. Lagu kedua selesai, dia menutup konsernya dengan sepatah dua patah kata sambil memasukkan botol ke sling bag dan menarik keluar pouch pelembut pakaian yang masih menguarkan harum segar. Pouch bekas yang baru dia pakai. Lalu dia mulai menjulurkan pouch itu. Mulanya ke bagian depan bus—belakangnya—lalu dia bergerak ke depan sampai ujung di bagian belakang bus. Beberapa penumpang mengisi pouchnya, lebih banyak yang hanya memberikan salam lima jari. Tapi semua tetap dia berikan senyum manisnya.
Selesai.
Dia bergelayut di pintu belakang bus. Ketika bus agak melambat, tanpa menunggu bus berhenti total, dia melompat ke jalan sambil melambai pada kernet, berterima kasih atas panggungnya.
Matahari nyaris tenggelam. Dia sudah semakin lusuh. Sejak pagi dia sudah berkelana dari bus ke bus. Pouchnya sudah padat tanpa dia hitung isinya. Jika sudah terlalu padat, dia akan memindahkan isinya ke sling bag. Jika sling bag pun sudah padat, dia akan menukar uangnya ke pedagang di pinggir jalan.
Bahkan ketika matahari sudah tenggelam pun dia terus bekerja. Jangan tanya seperti apa lelahnya. Dia hanya menjalani saja. Selama pita suaranya baik-baik saja, dia akan terus bernyanyi. Dia ingin berjualan. Mengasong. Tapi itu butuh modal dan tenaga. Menggendong keranjang berisi jualan lebih melelahkan daripada membawa botol berisi beras.
Begitulah dia mengisi hari. Sejak meninggalkan rumah di pinggir Jakarta, dia sudah mengamen. Lalu seharian berkeliling. Melompat dari satu bus ke bus yang lain sampai waktunya pulang lalu menaiki bus yang mengarah ke rumahnya.
Hari semakin malam, penumpang bus banyak yang mengisi waktu di perjalanan dengan tidur. Kalau sudah begini, makin sedikit orang yang mengisi pouch-nya. Saatnya pulang. Dan dia memang sudah sangat lelah. Jalannya nyaris tak bisa lurus. Sudah sejak dua jam yang lalu dia memilih bus ke arah pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...