KEESOKAN paginya Trisha tidak mau sekolah. Alasannya tidak ada seragam. Dia menolak pulang dulu untuk mengambil seragam. Malas memaksa, Tristan mengiyakan saja lalu dia menelepon wali kelas adiknya, meminta izin. Mendapat izin kakaknya, Trisha langsung merasa bebas seperti anak kancil lepas dari kandang. Dia langsung berlari ke lapangan lalu ke kebun menyusul yang lain. Kelakuannya membuat seulas senyum terbentuk di wajah Tristan. Senyum yang berbalut perih. Baru kali ini dia melihat Trisha sebebas itu. Inilah kehidupan yang ingin dia berikan untuk adiknya. Mengingat itu, ada yang harus dia selesaikan segera. Meski hari masih terlalu pagi untuk ke kampus, Tristan tetap pergi. Baru kali ini dia merasa begitu tenang meninggalkan Trisha. Ketenangan yang terasa aneh. Meski pilihannya semakin mantap, tapi sisi hatinya yang lain tetap berharap, kebahagian ini bisa mereka dapat di rumah sendiri.
Apa itu cuma mimpi? Harapan kosong yang hanya akan membuat seseorang mati hati.
Di tempat yang sekarang mereka mendapat apa yang mereka mau. Apa jika masih mengharap yang lain itu tanda dia tidak bersyukur?
Sampai di kampus, petugas kebersihan masih bergerak di sekitar kelas. Langkah kakinya bergerak tanpa perintah otak ke arah sebuah ruangan kecil. Dia tahu penghuni ruangan itu belum ada maka dia hanya menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan duduk bersandar di samping panel pintu.
Menunggu.
Nyaris satu jam sebuah suara terdengar dari atasnya.
"Nggak kuliah?" tanya Fabian sambil memasukkan anak kunci ke lubangnya.
"Bolos."
"Kamu ngomong bolos kayak gitu sama dosen pembimbing. Minta diceramahin berapa jam?" Dia membuka pintu dan mempersilakan Tristan masuk terlebih dahulu.
"Gue lagi nggak mau ngomong sama dosen pembimbing." Tristan langsung membanting b*k*ngnya di fave spot. Duduk meluruskan sebelah kaki sementara sebelah lagi terlipat dan menjadi sandaran lengannya. Fabian membuka semua jendela.
"So?" Fabian menyusul duduk di sisi lain di dekat Tristan.
"Lagi butuh abang."
Dan itulah yang Fabian berikan pada Tristan. Dia menemani Tristan melamun, membiarkan Tristan merokok di depannya, di ruangannya—ruang dosen—di kampus, dia pun mendengarkan keluh kesah Tristan atas kondisi rumahnya. Tristan bahkan mengakui bahwa dia mantan junkies. Info yang Fabian apresiasi karena keberhasilannya melepaskan diri dari barang haram itu.
Fabian memang mengizinkan mereka tinggal di sana. Tapi Fabian juga benar, orangtua mereka tentu tidak akan tinggal diam anaknya tinggal bersama anak jalanan meskipun mantan. Hal yang sebenarnya sudah sering Tristan pikirkan. Tapi kesehatan jiwa Trisha lebih penting dari yang lain. Dia pun makin lelah dengan kehidupan di rumahnya.
Hari itu, tidak ada hati tersisa di kampus. Ketika Fabian harus mengajar, Tristan melanjutkan bolosnya dengan langsung ke rumah panggung itu. Di sana dia melihat adiknya sibuk membantu di garasi yang menjadi tempat pembuatan tempe. Entah membantu atau mengganggu, tapi yang lain terlihat tak terganggu. Melihat kakaknya datang, Trisha langsung menyambutnya dan bergelayut di leher Tristan.
"Adek suka ya di sini?" tanyanya.
"Suka banget," jawabnya singkat lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Tristan hanya tersenyum lalu menghela napas. Masih dengan wajah campur aduk dia mengambil dayung dari tangan Non.
"Non."
"Ya."
"Kalau gue sama Trisha tinggal di sini boleh kan?"
"Hah?" Non langsung menghentikan gerakan tangannya. "Gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...