TIDUR membuat mereka terlambat ke kelas sore. Sembilan menit, itu pun setelah mereka lari seperti dikejar hantu. Sepanjang kuliah, Tristan hanya mendudukkan badannya saja di kelas, jiwanya tertinggal di rumah kayu berbentuk panggung itu. Dia sedikit bersemangat ketika bertemu Fabian yang menjemput istrinya.
"Jadi kan ngebasketnya?" tanya Fabian.
"Jadi dong. Ayo ah. Ini kalori maksi harus segera dibuang," jawab Dewa.
"Masakan Non enak banget," timpal Seto.
Fabian tertawa kecil. "Kalian dari sana?"
"Ah, Si Abang, nggak bilang-bilang punya basecamp kayak gitu," lanjut Tristan.
Sejak itu juga mereka menahbiskan Fabian sebagai kakak dengan ikut memanggil Abang pada dosennya. Fabian tergelak, mengizinkan panggilan baru dari mereka.
"Ya sudah. Sudah tau kan? Ke sana deh. Mereka ramah-ramah kan?"
"Itu surga, Bang." Tristan menjawab sungguh-sungguh. "Trist boleh ke sana sering-sering? Trist mau ngajak Trisha ke sana ya? Dia pasti senang deh. Apalagi ada Angi."
Fabian tersenyum tulus. "Boleh. Ajak siapa aja. Mereka senang kalau ada yang datang.
Ucapan Fabian membuatt Tristan dibanjiri hormon endorphin. Rumah nyaman dan seorang abang. Bahkan ketika bermain three on three dia tidak bisa seratus persen menghilangkan dua hal itu. Bermain basket bersama Fabian, dia merasa benar-benar bermain bersama teman dan kakak. Hilang sosok dosen yang biasa disegani mendekati ditakuti. Sosok Fabian di mata dia dan teman-temannya menjadi disegani menuju didekati.
Sejak pertama berkenalan dengan Fabian, enam mahasiswa itu memang bisa langsung akrab dan nyaman dengan pembimbing akademiknya itu. Kedekatan itu langsung semakin erat ketika mereka mengenal adik-adik angkat Fabian.
Ternyata Tristan membutuhkan Fabian lebih dari sekadar teman dan abang saja.
***
Hormon endorphin itu membuatnya tidak bisa tidur. Dia baru bisa tidur menjelang subuh yang berakibat dia bangun kesiangan. Tidak bisa mengejar kelas pagi, Tristan berusaha hadir di jam kedua.
"Bang," panggilnya sambil membuka penutup helm. "Mau ke mana?" Dia menghentikan motor di samping Ando.
"Mau pulang." Ando sudah berhenti berjalan.
"Motor mana?"
Ando terkekeh. "Itu motor operasional rumah. Lagi dipakai Non ke pasar."
"Perasaan kemarin ada mobil juga deh?" Tristan berkerut kening berusaha mengingat. "Kenapa ke pasar nggak pakai mobil aja? Kan enak bawa barangnya."
"Non belum punya SIM A. Belum pede juga dia bawa mobil."
"Ya sudah, gue antar aja."
"Lha, lu nggak kuliah?"
"Tanggung ah, Bang. Tadi pagi sudah bolos, sekarang bablasin aja."
"Ketauan Bang Ian gimana?"
"Ck. Paling sih Bang Ian tau. Kan bininya tau."
"Lalu?"
"Ya bodo amat. Bang Ian nggak sereseh itu. Nanti gue pinjam catatan bininya aja Kalau perlu sekalian minta jelasin. Nggak bininya nggak lakinya, serah deh."
Ando terbahak keras sekali.
"Lu tuh ya. Laki bini lu manfaatin semua," ujarnya sambil duduk di belakang Tristan. Ganti Tristan yang terbahak lepas. Sambil mengetik cepat.
B. Tristan : Gue bolos bablas ya. Absenin
Taruna Setoadjie : Oke
"Kok lu kayaknya nggak pernah bawa mobil deh, Bang?" tanya Tristan setengah berteriak sambil sedikit menoleh ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...