115, Pergi Satu Per Satu

134 34 28
                                    

Kemarin masuk notif bab ini publish ya? Sorry, lagi nge-draft lalu kepencet. 🤭 Lagi super irit bab biar Aa enak nyundulnya.

Happy reading

[][][][][][][][][][][][]

BEBERAPA detik menunggu lift datang tetap bisa membuat Tristan berpikir turun melalui pintu darurat saja. Saking jengkelnya dia pada pemandangan yang tadi tertangkap matanya. Bukan. Bukan pemandangan itu. Itu ranah pribadi mereka, tapi siapa dan di mana mereka melakukan itu, itu yang membuatnya muntab.

.

Ting.

.

Pintu lift terbuka. Terburu dia melewati pintu, lalu menekan, lebih tepatnya memukul kasar tombol angka di dinding. Lift meluncur mulus sementara dua orang di dalam sana hatinya berantakan. Begitu lift terbuka, Non sampai nyaris tersandung ketika mengikuti kecepatan langkah Tristan menuju mobil. Jika tidak melihat Trisha masih tidur, ingin dia membanting sekeras mungkin pintu menutup di sampingnya. Bu Darmi yang masih memangku Trisha hanya diam melihat Tristan seperti itu.

Di dalam mobil, dia menelungkupkan kepala ke kemudi beralas lengan yang bersilangan. Terdengar suaranya lirih memohon ampun pada Langit. Hanya itu yang bisa dia lakukan, memasrahkan segala yang di luar kuasanya.

Keberadaan tiga perempuan di mobil ini membuat pedal gas belum terinjak maksimal. Ingin rasanya dia menabrakkan mobil menghantam dinding beton di depannya lalu mati menyusul ayahnya dan memaki-maki orang itu sambil memukulinya dengan tangan kosong sampai mati lagi. Terserah berpindah ke alam apa.

Setelah marahnya lebih menepi, perlahan dia bisa bernapas normal. Tanpa sepatah kata apa pun dia membuat mobil bergerak. Decit ban menggesek aspal ketika dia keluar dari lahan parkir menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Setelahnya, bahkan suara dari luar pun tidak terdengar, teredam keriuhan hatinya. Tristan yang berkendara terarah dengan kecepatan normal membuat Bu Darmi yang mengenali anak asuhnya bisa ikut tertidur menyusul Trisha. Sementara Non, dia bertahan menemani Tristan meski hanya diam sampai akhirnya mobil sampai di rumah mereka. Rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung. Melihat rumah itu, hatinya menghangat. Pun Non, dia ingin melonjak berlari masuk.

Benar saja. Semua menyambut mereka. Sudah begitu lama mereka tidak ke sini. Terakhir sebelum kejadian terkutuk itu. Setelah mencuci tangan Non langsung mengambil Angi dari tangan Dadang dan menghujani balita itu dengan ciuman. Hati Tristan menghangat melihat pemandangan itu.

Sore yang indah setelah pagi dan siang yang sangat buruk seakan hadiah dari Langit untuk harinya yang terlampau berat untuk dia tanggung jika tanpa pengobat luka hati. Udara sore yang sejuk, semilir angin menambah kesejukan itu. Bahkan matahari pun bersinar hangat. Tidak ada yang membuat panas di sini. Bahkan mungkin api pun terasa hangat dan menghangatkan di sini.

Mereka terus menikmati hari dan kebersamaan itu di sana. Tidak ada lagi Ando yang sudah bekerja sebagai peneliti. Wini dan Heri yang menjadi pemimpin di sana. Kedatangan Non dan Tristan benar-benar menjadi pengobat rindu kebersamaan yang utuh. Sama seperti Non, hanya sesekali Ando datang menengok adik-adiknya, memastikan semuanya baik-baik saja.

Semua terasa berbeda.

Ada kerinduan yang sangat pada masing-masing mereka. Kerinduan berkumpul utuh di kolong rumah bersama Fabian yang tidak bisa digantikan meski oleh Ari yang sesekali datang bersama Dee. Ari terlalu pendiam, sulit melebur dengan keliaran mereka yang terbiasa bebas dengan Fabian.

Malam itu mereka menikmati makan malam buatan Non. Dia bahkan memasak sangat banyak untuk disimpan di lemari es. Sesekali kiriman dari Nia datang bertukar dengan hasil kebun di sana.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang