MUNGKIN memang harus demikian. Keduanya menjalani lagi peran masing-masing. Mengisi waktu dengan kesibukan yang sama, memenuhi kepala dengan pikiran yang sama tapi mengosongkan hati dari satu rasa yang nenggeliat meminta perhatian.
"Lu kenapa, Non? Daritadi gue lihat kayaknya lu lemes amat," tanya Tristan ketika melihat Non agak lesu. Mereka sedang di perjalanan setelah jadwal rutin berbelanja. "Masih siang loh ini."
"Nggak tau nih. Kayak apa ya? Bosan."
Tristan langsung menoleh dan melihat Non lebih serius.
"Kita nggak usah jalan lagi ya," usul Tristan.
"Tapi kita belum lihat barang yang kemarin mereka tawarin. Siapa tau bagus, bisa cepat kita jual."
"Kalau lu kayak gini mood-nya, nggak bakal bagus juga kerjanya."
Non menghela napas lagi. "Mungkin karena tugas kuliah juga numpuk ya. Gue berasa capek gimanaaa gitu. Bukan capek badan. Suntuk aja."
"Wajar sih kalau lu ngerasa jenuh. Gue juga sering kok boring."
"Lalu lu ngapain kalau boring gitu?"
"Bayangin uang SPP, kos, makan, jajan, rokok, dan lain sebagainya. Makin panjang list-nya makin bagus. Nah, kalau sudah stres mikirin itu biasanya nggak jadi jenuh deh."
Mereka tergelak bersama lalu terdiam bersama.
Benarkah seperti itu?
Benarkah begitu cara Tristan menghalau jenuh? Mungkin itu benar, tapi ada satu hal yang tidak dia ungkap. Rasa rindu ketika berjauhan dengan Non membuat dia bertahan di atas kejenuhan hidupnya. Bayangan menghabiskan satu hari bersama Non bisa membuatnya kembali bersemangat.
Benarkah seperti itu?
Benarkah Non merasa jenuh dengan rutinitas hariannya? Mungkin itu benar, tapi ada satu hal yang tidak dia ungkap. Rasa ingin memiliki yang membesar tapi dia harus menekan itu sedalam mungkin. Seharian bersama Tristan memang menyenangkan, tapi membayangkan mereka hanya bisa begini membuatnya patah arang. Apalagi semua semakin jelas dengan pernyataan Tristan beberapa minggu lalu bahwa dia tidak ingin disibukkan dengan urusan perempuan.
Ah, seharusnya dia menikmati saja apa yang bisa dia nikmati sekarang. Sebelum semuanya terengut paksa oleh apa pun itu. Tak lama lagi Tristan lulus. Dia bebas bekerja di mana pun. Meniti karir dan melupakan peluhnya bekerja bersama Non. Saat itu datang, Tristan akan pergi dari kehidupannya dan memulai kehidupan baru bersama pasangannya.
Suara peluit panjang membuyarkan lamunan mereka.
"Kita selesaiin semuanya secepatnya hari ini. Pulang, packing seperti biasa. Lalu besok kita jalan yuk," ajak Tristan.
"Ke mana?"
"Terserah lu. Yang boring kan lu. Gue ikut aja."
Non berpikir sambil memejamkan mata. Sebenarnya, berdua saja meski di gerbong kereta seperti ini sudah cukup.
"Atau lu mau glundungan aja di rumah? Ya monggo. Lu tuh memang kurang istirahat, apalagi libur. Kayaknya lu nggak pernah liburan ya?"
Non terbahak lepas sekali sampai beberapa orang menoleh ke arahnya.
"Jangan ngeledek. Gue memang nggak pernah liburan kayak lu keliling Eropa, tapi tinggal di rumah itu kan artinya gue liburan tiap hari."
Tristan tersenyum.
"Ya sudah, lu pikirin deh mau ke mana."
"Gue cuma mau santai aja sih. Leyeh-leyeh sampai ketiduran."
"Nonton yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...