SIANG tentu sudah menjadi malam ketika akhirnya Tristan sampai di rumah. Rumah yang dimaksud tentu rumah panggung. Rumah yang sudah menjadi rumahnya, melupakan rumah orangtuanya. Dia disambut adiknya yang duduk sambil menggoyang-goyangkan kaki di balai-balai.
"Tuh, Bang Tristan sudah pulang, Trisha bobo ya?" rayu Non.
Terkekeh, Trisha memang turun dari balai-balai, tapi tentu untuk menyambut abangnya.
"Kok belum tidur, Dek?" tanya Tristan ketika dia membuka pintu mobil dan disambut pelukan Trisha yang bergelayut di lehernya.
"Tunggu Abang pulang lah." Trisha tertawa-tawa riang. "Abang pulang lama amat sih."
Tristan menarik napas.
"Ngapain Adek tungguin Abang. Biasanya kan nggak pakai nunggu, waktunya bobo ya bobo. Ini sudah malam, Dek."
"Tuh kan, Bang Trist juga suruh Adek bobo. Ayo, bobo dulu. Besok aja mainnya sama Abang." Non melirik sinis Tristan. "Dari tadi Teteh suruh bobo nggak percaya sih."
Trisha melepas pelukannya sambil menunduk.
"Abang bilang apa kemarin, Dek?" Tegas.
"Iya, Bang." Suaranya pelan.
"Iya apa?" Makin tajam.
"Nurut sama Teteh." Suara Trisha mekin pelan, lebih mirip mencicit.
"Lalu?" cecar Tristan. Trisha tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa masih di sini? Teteh kan dari tadi suruh tidur."
Perlahan Trisha berbalik, lalu berjalan. Non menggandeng tangannya.
"Nggak usah ditemani, Teh. Biar aja sendirian," perintahnya.
Trisha makin menunduk, satu isakan keluar.
"Nggak." Non merengkuh bahu Trisha. "Ayo, Teteh temenin." Non melirik Tristan makin sinis. Ketika Tristan membuka mulut hendak protes, Non langsung mendelik. Membuat Tristan kembali menutup mulutnya lalu mengedikkan bahu. Akhirnya dia memilih mengeluarkan isi mobil dan duduk di balai-balai. Kembali, ditemani rokok.
Dia tidak tahu berapa lama dia melamun sampai dia terkejut ketika rokoknya yang entah batang ke berapa mendadak lepas dari jarinya.
Non.
"Bang Ian nggak bilang ya?" tanya Non sambil menjatuhkan rokok lalu menginjak rokok.
"Apa?"
"Di sini nggak boleh ngerokok. Di sini di area tanah dia ya. Nggak cuma di rumah ini aja." Non memungut puntung rokok lalu melemparnya ke tempat sampah.
"Hah? Serius?" Tristan merapikan duduknya. Terkejut. "Dia kan ngerokok juga. Dulu." Non duduk di sampingnya.
"Gue tau. Tapi dia nggak pernah ngerokok di sini. Dia itu orangnya simpel. Kalau ngelarang ya ngelarang. Dia juga jalanin larangannya."
Fyuhh...
Tristan mendesah pasrah.
"Kenapa? Nyesal pindah ke sini?"
Sebuah kekeh sinis keluar dari bibirnya.
"Nggak lah. Toh, gue masih bisa ngerokok di tempat lain."
"Terserah. Yang penting jangan di sini. Masih banyak yang under ages." Non mengedikkan bahu. "Ada adek lu juga kan."
"Trisha sudah biasa lihat gue ngerokok."
"Ya kalau gitu jangan dibiasain."
Tristan diam. Kembali melamun kali ini hanya sambil memainkan korek di tangan. Berputar acak. Dia duduk bersandar di tiang rumah dengan bahu sementara punggung membungkuk dan lengan menumpu di tungkai.
"Trist," panggil Non setelah dia merasa sudah memberi cukup waktu Tristan melamun.
"Ya."
"Trisha tuh baru di sini. Jangan keras gitu ke dia."
"Keras gimana? Ini jam sepuluh. Yang lain sudah pada tidur, dia belum, malah nungguin gue. Buat apa? Dulu di rumah Papa dia tidur sebelum jam sembilan. Ada nggak ada gue, waktunya tidur ya tidur."
"Di sini memang aturannya jam sembilan nggak boleh ada yang di luar rumah. Balai-balai harus sudah kosong. Tapi kasih dia waktu adaptasi lah. Di sini orang baru semua bagi dia. Cuma lu yang dia kenal dekat dari dulu."
"Ah, dia sudah dekat sama yang lain kok. Apalagi sama Dadang."
"Gue bilang kasih dia waktu adaptasi. Lu juga, dari mana aja sih sampai malam gini baru pulang?" Menggerutu panjang. "Nggak ingat punya adek di sini?" Melirik sinis.
Tristan menarik napas berat. Dia menarik kakinya ke atas, lalu duduk meluruskan kaki bersandar pada tiang.
"Kami juga akan kasih lu waktu adaptasi," ujar Non. "Gue ngerti berat banget jadi lu. Hidup lu terjungkal. Gue yakin, lu besok nggak bakal bawa mobil. Lu ke kampus naik apa? Dari situ aja lu sudah gamang."
Diam.
"Jangan sampai limbung lu bikin lu terlalu keras ke Trisha," lanjut Non lagi. "Apalagi dia mau tidur."
"Kenapa kalau dia mau tidur?"
"Kalau gue harus milih, antara marahin anak pagi pas baru bangun, sama malam pas mau tidur, gue milih marahin anak pagi."
"Kenapa?"
"Kalau pagi, gue masih ada waktu seharian beresin mood dan feel anak. Gue bisa jelasin kenapa tadi gue marah. Gue masih bisa hibur dia. Kalau malam kan nggak bisa, dia sudah mau tidur. Masa iya habis dimarahin lalu gue cium-cium tu anak? Nanti dia nggak ngereken kalau gue marah lagi. Ah, nanti juga gue dicium-ciumin lagi. Tenang aja. Lama-lama gue nggak dianggap beneran."
"Jadi, kalau malam dimarahin, keseringan tu anak bawa tidur. Gimana kalau dia bawa perasaan sedih dimarahin ke alam bawah sadarnya? Numpuk-numpuk, lama-lama limbung juga tu anak. Gue akan usahakan tu anak tidur dalam keadaan bahagia, feel accepted for what she had done. Perasaan itu yang masuk ke alam bawah sadarnya. Mengendap di sana. Ketika perasaan itu muncul, dia bahagia. Bayangin kalau yang mengendap di alam bawah sadarnya perasaan sedih. Itu yang keluar. Trisha dekat banget sama lu. Dia merasa lu marah, dia sedih. Itu nggak bagus buat mental dia."
Tristan menarik napas lebih berat lagi.
"Gue tau, lu butuh waktu untuk ngurus diri lu sendiri. Tapi lu juga harus ngurus Trisha. Itu berat banget. At least, cara tergampang, jangan keras sama Trisha sampai lu sendiri bisa handling diri lu sendiri. Gue nggak mau lu marah sama siapa, lalu Trisha jadi pelampiasannya."
"Iya. Gue memang masih limbung. Tadi gue ke rumah pamit sama Ibu."
"Ibu? Nyokap?"
Tristan menggeleng.
"Pengasuh gue dan Trisha dari orok."
Non diam. Dia tidak mengerti sama sekali. Terlebih ketika dia melihat Tristan memejamkan matanya rapat.
"Kalau Trisha ada pengasuhnya, kenapa lu kabur bawa-bawa dia? Kenapa nggak kabur sendiri aja sih? Lu kan yang repot karena bawa bocah."
"Gue kabur kan karena nggak mau Trisha tinggal di sana."
"Hah?"
Tristan masih memejamkan mata. Mengingat semua yang terjadi di rumah itu. Membuka lembar demi lembar cerita tentang meeka di sana. Tapi kali ini, cerita itu keluar dari bibirnya, menjadi kisah yang tertangkap telinga Non.
Malam itu, semua menjadi lebih jelas bagi Non. Dia masih sulit menerima kenyataan bahwa uang tidak bisa membuat seorang anak tetap tinggal di rumahnya. Dia tahu bahwa ada orangtua yang tidak peduli anaknya. Bahkan dia anak yang dibuang. Tapi, seumur hidup berjuang mencari receh, mengalami kerasnya kehidupan jalanan yang jangankan dimarahi, dipukuli pun sering. Itu membuat dia merasa alasan Tristan aneh.
Ah, pemikiran itu mungkin hanya karena dia masih sangat hijau di kehidupan yang sangat berwarna ini. Setiap orang memiliki riak, ombak, dan badai kehidupan masing-masing, dan setiap orang berhak memilih jalan nasib menuju takdirnya sendiri.
Malam yang semakin ke tengah ditemani sepi dan dingin membuat mereka abai dengan kegelapan di luar. Tak sadar, sepasang mata mengikuti gerakan-gerakan mereka dari luar pagar.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...