120, Mencari Tempat Tinggal

155 46 31
                                    

NON sudah tahu uang saku Tristan dari ayahnya yang akan dia jadikan gajinya sebagai MT. Untuk ukuran uang saku anak kuliah itu tentu sudah cukup apalagi dulu Tristan nyaris bebas meminta tambahan, tanpa batas pula. Tapi apa sekarang uang saku itu cukup untuk membiayai semuanya?

"Kamu yakin, Trist?" Non bertanya hati-hati. "Uang yang dari Bang Ian dan Ari kita balikin?" Tristan mengangguk. "Apa cukup? SPP Trisha besar loh. Kuliah aku juga."

"Ya kalau kurang cari lagi. Kita kan masih jualan. Cuma belum kepegang lagi aja."

"Oh iya ya."

Dia harus berespons apa? Namun dia tentu siap bekerja seperti dulu lagi. Lelaki dengan ego dan harga diri setinggi Tristan sulit dibantah apalagi jika itu menyoal hal yang kemarin sangat dia galaukan.

"Besok ke sana pakai apa?" tanya Non lagi. "Kalau pakai mobil susah atuh masuk ke gang-gangnya."

"Satu. Apa aku sudah boleh bawa motor? Ayo deh pakai motor aja. Dipeluk sepanjang jalan kan enak. Auch..." Non mencubit pinggang lelakinya. "Dua. Apa Trisha mau ditinggal di sini? Kalau dia maksa ikut ya mau nggak mau pakai mobil."

"Sudah ah, besok aja dibahasnya. Katanya tadi mau tidur."

"Meniduri nggak nolak kok."

"Tristan!" Mendesis, dia langsung berdiri dan menyambar nampan berisi bekas makan malam darurat mereka.

Tristan terkekeh tapi dia ikut berdiri dan berjalan di samping Non, mengantar Non sampai di ujung tangga sebelum dia memastikan pagar sudah terkunci lalu kemudian naik ke area bujang. Oh, dia sudah bukan bujang.

***

Seperti yang sudah Tristan duga, Trisha tidak mau ditinggal meski tetap ingin di rumah saja. Setelah dijelaskan pentingnya mencari rumah baru secepat mungkin, akhirnya dia lebih jinak tapi tetap memilih ikut. Dia ingin sesegera mungkin pergi dari rumah itu. Mereka akan mencari rumah berempat agar semua bisa melihat langsung kondisi rumah.

Mencari rumah tanpa referensi sama sekali ternyata sulit. Trisha mulai mengeluh ketika dia harus keluar masuk mobil lalu berjalan keluar masuk gang. Sampai akhirnya Tristan menyuruh adiknya menunggu di masjid terdekat bersama Bu Darmi.

Hari menjelang petang ketika Tristan dan Non menjemput Trisha. Hasilnya, nihil.

"Abang besok cari lagi ya. Adek di rumah aja sama Ibu."

Pasrah, Trisha mengangguk. Udara Jakarta di siang hari membuat Trisha lebih cepat kuyu dan menunggu di rumah jauh lebih menyenangkan dibanding menunggu di sini.

"Ayo deh kita pulang," ajak Non. "Adek sudah bete banget tuh."

Tristan mengangguk. Jika tidak ingat bekas lukanya, dia akan menggendong Trisha yang merajuk.

"Besok kita naik motor aja nggak apa-apa kan?" tanya Tristan.

Mobil Rey yang kecil—hatchback—memang lebih memudahkan mereka bergerak, tapi tetap saja, jangkauan areanya terbatas dibanding motor.

Non masih berpikir keras. Luka itu... tapi tadi seharian mereka berjalan kaki dan Tristan baik-baik saja.

"Besok ke sini naik mobil. Nanti aku cari pinjaman motor dari teman yang tinggal dekat-dekat sini."

Mobil yang mereka tumpangi sudah kembali di jalan. Trisha sudah merebahkan diri di pangkuan Bu Darmi. Tristan menggerakkan asal kemudinya. Entah mencari rumah atau mencari jalan menuju jalan utama.

"Kamu nggak nanya teman-teman kamu? Siapa tau mereka tau ada kontrakan."

"Nggak ada yang tau. Mereka kalau nggak ngekos ya di apartemen."

Tristan berpikir dan menghitung cepat. Namun tetap, dia harus menekan biaya sehemat mungkin. Membuatnya mendesah meski hanya dalam hati. Sambil mengemudi dia berpikir, lalu tiba-tiba dia merasa ada yang aneh dengan laju mobilnya membuat dia memelankan kecepatan yang memang sudah pelan. Tak lama seseorang pengendara motor berhenti di sampingnya.

"Bannya kempes, Mas." Hanya sesingkat itu info yang dia berikan tapi membuat Tristan mendesah.

"Makasih, Mas." Dia bergegas keluar dan melihat ban kanan belakang sudah kempis.

Yang meresahkan adalah mereka ada di jalan yang jika dia harus mengganti ban di sana maka bisa mengganggu mobilitas pengguna jalan yang lain. Itu yang membuat Tristan hanya berkacak pinggang sambil memandangi ban kempis itu.

Bagaimana ini?

Non bergerak cepat, dia bertanya ke warga di mana tambal ban terdekat lalu menginfokan pada Tristan.

"Ke sana aja deh. Paling nggak mobilnya bergerak nggak bikin macet jalan."

"Katanya jauh loh, Trist. Nggak bikin jebol ban?"

Kembali dia meragu.

"Kita nggak bisa ganti di sini. Cari tempat tambal atau tempat ganti ban."

"Mobilnya kenapa, Mbak?" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya bertanya sambil membuka pagar terdekat dari mereka terdampar.

"Kempes, Bu. Mau ganti ban di sini takut bikin macet. Ke tambal ban katanya jauh."

"Masnya bisa ganti ban?" tanya ibu itu lagi.

"Bisa, Bu."

"Kalau gitu mobilnya masukin dulu aja ke rumah saya. Ganti di dalam biar nggak ganggu yang lain."

"Wah, boleh, Bu?" Tristan langsung bersemangat.

"Boleh." Dia tersenyum dan langsung membuka pagar selebar mungkin.

Di bantu Non, Tristan berusaha secepat mungkin bekerja. Sejak awal Tristan mengambil dongkrak di bawah jok penumpang depan, Non sudah protes.

"Tristan, ajarin aku aja sih. Itu kamu terlalu banyak gaya."

"Ck."

Non berusaha mengambil alih tapi Tristan bersikeras. Namun akhirnya lebih banyak Non dan Bu Darmi yang bekerja.

"Non, yang gerak kan tangan aku aja."

"Nggak deh, Trist." Dia mengambil alih kunci T dari tangan Tristan. "Aku aja."

"Itu keras, Non."

"Ayo, Non. Berdua sama Ibu."

Tristan mendesah. Akhirnya dia membiarkan dua orang itu bekerja.

"Loh, Masnya kenapa?" tanya si Ibu pemilik rumah.

"Dia habis kecelakaan, Bu. Nggak boleh banyak gaya."

"Astaga... Aduh, saya tinggal sendirian sih di sini, jadi nggak ada yang bisa saya suruh bantuin." Dia langsung merasa kasihan. "Apa panggil tetangga aja ya?" Dia melongok-longok ke arah luar.

"Nggak usah, Bu. Ngerepotin banget. Ini sudah bisa kok." Non menolak halus kebaikan hati pemilik rumah. Melihat Non yang gesit dan Bu Darmi yang kuat, dia tersenyum dan merasa yakin mereka mampu mengganti ban. Tristan makin jengkel.

Suara pintu mobil yang terbuka tidak membuat Tristan terganggu. Dia masih bersama jengkel dan kesalnya tidak bisa bekerja dan malah hanya memandori saja perempuan-perempuannya bekerja keras. Mendengar suara itu, dia hanya menoleh ke arah suara dan mendapati Trisha yang membuat suara itu. Dia membiarkan saja Trisha keluar yang melayangkan pandangannya ke seluruh sudut halaman.

Rumah ini rumah tua yang berhalaman luas. Rumah tua, mungkin peninggalan Belanda dengan beberapa pohon buah-buahan berkayu di beberapa titik. Pohon mangga, rambutan, sawo, dan jambu air. Selain pohon berkayu yang menaungi rumah, ada juga tanaman lain. Tanaman berbunga, suplir, tanaman obat, dan berjenis-jeis rimpang. Semua tertata rapi. Termasuk rumput yang mengisi tanah sisa. Rumah yang nyaman. Pohon-pohon itu membuat rumah terasa sejuk. Hari memang sudah petang, matahari sebentar lagi hilang, tapi tetap saja, orang bisa membayangkan kesejukan rumah itu di siang hari.

"Bang Tis..."

"Ya, Dek..."

"Ini rumah kita? Nanti kita tinggal di sini?" Matanya bercahaya menatap rumah itu. "Adek mau tinggal di sini. Ini kayak rumah kita yang di gunung."

"Hah?"

***

Bersambung

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang