10, Dua Pertemuan Pertama

218 52 82
                                    

[Beberapa bulan kemudian]

.

"Woy, nama dosen pembimbing sudah ada tuh." Seseorang berteriak di depan kelas. Teriakan yang membuat suara dengung di kelas itu. Termasuk enam orang yang duduk berdekatan, salah satu di antara mereka adalah Tristan.

"Masih ada waktu nih." Seorang di antara mereka bersuara. Dewa, teman Tristan. "Kita lihat dulu yuk."

"Ah, paling masih ramai banget tuh papan. Nanti aja lah. Buat apa juga buru-buru," sahut Dinda yang memang terkenal malas bergerak.

"Bro." Tristan menepuk teman yang lain yang kebetulan lewat di sampingnya. "Fotoin pengumumannya ya," pintanya pada teman itu.

"Oke."

Sepuluh menit kemudian ponselnya berdenting. Sebuah foto berisi jejeran nama masuk. Keenam anak itu langsung beradu kepala melihat isi foto.

"Yah, kok cuma gue aja sih yang pisah pembimbing." Itu suara Rey, yang termuda di antara mereka. Di list itu tertulis lima temannya yang lain berada di bawah bimbingan yang sama.

Ting

Ponsel Tristan berdenting lagi. Sebuah kontak nama.

Fabian Samudra, S.Pi, M.Sc

"Eh, si Indra sudah kasih nope pembimbing kita nih."

"Kita? Lu kali, Bang," gerutu Rey lagi yang dibalas kekehan Tristan sambil mengacak rambut Rey.

Ting.

Pesan lain masuk lagi.

"Katanya Pak Fabian lagi ada di kampus nih. Kita telepon sekarang aja apa ya?"

"Kita?" Lagi-lagi Rey protes. Yang dibalas toyoran yang lain.

"Sensi amat sih lu, Rey." Itu Nadya yang berkata sambil menarik rambut Rey. "Lagi dapet lu?"

"Teleponnya nanti aja. Tuh Pak Ario sudah masuk." Kerumunan mereka bubar.

"Rey. Bapak lu tuh." Seto berkata sambil menunjuk dengan dagunya dosen yang berjalan menuju meja. "Lu nggak laporan?"

"Sudah mau mulai kelas ini, Nyong. Buru-buru amat. Gue ikut yang lain aja lah. Paling yang lain sudah gerak."

"Ah, dasar malas lu."

"Eh, kebetulan aja lu pada ngumpul di satu dospem. Bisa nebeng Abang. Coba kalau lu yang nyempil kayak gue gini, gue nggak yakin lu bakal gercep nyari nope. Itu juga nope boleh dari Indra kok. Kalau nggak ada Indra yang kerajinan, lu belum tau siapa dospemnya apalagi nopenya," gerutu Rey panjang lebar.

"Sudah-sudah. Tibang nope dospem aja lu ributin sih." Tristan berusaha menengahi.

"Tuh si Setan. Reseh bener." Rey lagi-lagi menggerutu."

"Lu lagi mens, Rey? Dari tadi ngomel aja," timpal Dewa yang dibalas lemparan pulpen oleh Rey. "Fix ini mah, menjauh aja deh dari cewek dapet. Nggak panjang umur lu pada." Ucapan yang tentu dibalas dengan lemparan yang lain. Yang jika tidak dihentikan dehaman dosen di depan, lemparan itu terus berlanjut.

Mendekati jam makan siang saat kelas selesai. Keenam sahabat itu, Tristan, Dinda, Seto, Nadya, Dewa, dan Rey, santai saja meninggalkan kelas. Mereka mencari celah kosong di kampus untuk menghubungi dosen pembimbing. Tentu sangat sulit mencari tempat kosong saat waktu kelas bubar dan mendekati waktu makan siang. Semua sudut terisi manusia. Sampai akhirnya mereka terdampar di selasar di depan tempat parkir.

"Siapa yang mau nelepon?" tanya Tristan sambil menyodorkan ponsel.'

"Ya lu aja, Trist. Nopenya juga ada di HP lu."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang