84, Bertahanlah, Tristan

209 51 96
                                    

AMBULANS datang. Petugas terbirit masuk. Tim Bang Joe melindungi petugas medis ketika mereka masih bertempur. Tristan sudah tidak sadarkan diri. Non tentu langsung masuk ke ambulans ditemani Ari yang menggendong Trisha. Tiga yang lain mengikuti dengan tiga mobil.

Sampai di rumah sakit terdekat, paramedis ingin langsung memberikan pertolongan pertama pada semua yang terluka tanpa kecuali.

Tapi pekik panik Non membuat mereka mengurungkan semuanya.

"DONOR! DONOR! TRISTAN BUTUH DONOR!" Semua sudah terhalang pintu bahkan Non hanya bisa bergerak panik tanpa arah. Trisha pun sudah di dalam IGD.

Berlima, mereka langsung ke lab, menyerahkan diri sebagai pendonor. Tapi dengan sekali lirik, semuanya langsung ditolak tanpa pemerikasaan lanjutan. Terlebih Ari yang lukanya masih berdarah sampai dagingnya terlihat.

Non makin histeris.

"Bu, suami saya kehabisan darah. Nggak apa-apa ambil darah kami sekantong. Kami baik-baik aja."

"Sabar ya, Mbak. Nggak bisa jadi donor kalau lagi sakit. Kami pasti usahakan cari ke PMI. Kalian coba bantu cari juga. Tanya teman-teman yang lain. Yang sehat ya. Jangan yang babak belur bonyok-bonyok begini. Ini pasien IGD kenapa lepas senua ke sini sih?" Petugas itu menggerutu sekaligus prihatin.

Ando langsung mengambil ponsel. Dia sangat lega ketika sambungan terhubung.

"Bang, sudah selesai di sana?"

"Sudahlah. Main-main sajalah kami di sini."

"Bawa semua ke sini, Bang. Tristan butuh donor."

"86."

Bang Joe memerintahkan semua kembali ke mobil setelah memastikan semua gerombolan penculik terikat. Dia menyisakan satu mobil di sana untuk berjaga dan sebagai saksi jika petugas datang. Gerombolan penculik yang babak belur semua sudah terikat tidak bisa bergerak. Petugas cukup datang mengambil pelaku dan korban lalu membuat laporan. Selesai.

Dari tiga mobil, semua yang bisa mendonorkan darah menjadi pendonor. Bang Joe bahkan menawarkan yang di TKP berganti tempat dengan yang lain untuk menjadi pendonor juga. Namun dokter mengatakan cukup. Maka mereka membubarkan diri. Benar-benar membubarkan diri ketika dirasa mereka tidak dibutuhkan lagi. Mereka kembali ke Jakarta sambil tertawa-tawa. Membuat empat lelaki yang masih babak belur hanya bisa menggeleng dan menarik napas lelah.

Bang Joe hanya berpesan, mereka siap datang lagi jika dibutuhkan. Entah untuk berkelahi atau untuk mendonorkan darah.

"Bang Joe," panggil Ari yang masih bertelanjang dada. "Saya tidak akan pernah berhenti berterima kasih. Dulu untuk donor hati istri saya. Sekarang tambah lagi untuk bantuan berkelahi dan donor." Ari yang kaku, mengambil sikap ojigi. "Terima kasih banyak." Sikap tubuh yang diikuti tiga temannya.

Bang Joe hanya terkekeh dan menepuk pundak Ari.

"Gue nggak nyangka tampilan adeknya Ian kayak gini. Lu cocok jadi anak buah gue." Dia merujuk rajah-rajah di tubuh Ari. "Kalau pakai baju ya nggak kelihatan." Dia terkekeh lagi. "Gue cabut dulu. Nanti gue yang laporan sama abang lu. Dia orangnya bawel banget."

Berempat mereka ber-ojigi lagi lalu terbirit ke ruang operasi. Non sudah luruh bersandar di dinding. Menangis memeluk lutut.

"Tenang, Non. Tristan kuat." Ando yang paling mengenal Non tentu tahu, gadis di depannya tidak pernah menangis. Dan sekarang dia menangis.

"Bang, tapi Tristan di dalam beneran dikerjain kan?"

"Hah?"

"Diobatin. Dioperasi, di... di...."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang