MEREKA memilih warung soto betawi di pinggir jalan sebagai menu makan siang.
"Tumben mau soto betawi." Non berusaha membuka pembicaraan. Sejak mereka menikah—beberapa jam lalu—selalu Tristan yang berusaha membuka percakapan. Non tahu kesulitan Tristan, maka dia akan berusaha dengan caranya sendiri.
"Di bogor makan soto bogor, di Jakarta ya makan soto betawi lah." Asal bunyi.
Non terkekeh. Dan suasana menjadi lebih cair lagi ketika mereka mulai menyantap.
"Tadi Bang Ian bilang apa?"
Tristan terdiam sesaat.
"Pasti ada yang dia omongin kan? Dia tuh bawel banget."
Tristan mendengus sebagai pengalih tawa.
"Cuma suruh kita santai aja. Nggak usah kayak dikejar target. Kayak orang pacaran aja. Nggak usah mikir tinggal serumah dulu. Kayak biasa aja." Dia berbicara pelan sambil memperhatikan ekspresi Non. "How?"
Non masih berpikir.
"Kayaknya itu yang terbaik deh. Kita berdua sama-sama sibuk. Sama-sama nggak pernah pacaran, tau-tau nikah. Gagap juga."
Tristan berusaha menahan agar tarikan napas kelegaannya tidak terlalu terdengar.
"Yah, kayak dia aja sama Teh Rey. Nikah dulu, baru pacaran. Asyik aja tuh mereka," lanjut Non lagi.
"Gue nggak tau masalah mereka apa, yang tau Dee dan Nana. Yang gue tau, Bang Ian yang bermasalah, Rey nemenin aja."
"Lalu mereka berhasil." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
"Tapi kita dua-duanya bermasalah."
"Makanya Bang Ian kemarin bilangnya temani aja."
Tristan memijat bagian tengah dahinya.
"Kita jalanin aja ya, Non."
Non mengangguk.
"Let the river flow."
"So, kita pacar sekarang?" Tangan Tristan lagi-lagi terjulur. Namun Non menepuk tangan itu.
"Ish, apaan sih?"
"Pacaran sama istri sendiri ya nggak apa-apalah pegangan tangan."
"Tristan!" pekik Non tertahan. "Kita di warung nih."
Tristan terkekeh lalu menarik kembali tangannya.
"Ayolah. Kita pacaran sambil kerja."
Sepertinya satu masalah telah terpecahkan.
***
Hari itu berlangsung seperti akhir pekan yang sebelum-sebelumnya. Mereka berbelanja pesanan dan mencari stok, lalu kembali ke rumah untuk mengemas. Yang berbeda hanya sambutan adik-adik mereka saja. Tapi itu pun sekadarnya. Hanya yang sudah cukup mengerti saja yang Ando beritahu. Selebihnya sisa hari di rumah tidak ada perbedaan. Non langsung sibuk mengurus ini itu sambil mengurus paket.
Mereka biasa bekerja di kolong rumah di atas balai-balai yang merupakan area berkumpul.
Karena mereka tadi terlambat memulai, maka sekarang pun mereka terlambat selesai meski kecepatan bergerak sudah semaksimal mungkin.
"Nah, nggak ada yang boleh ngusir kalian sekarang. Sudah bebas sampai jam berapa pun."
Tiba-tiba Ando bersuara yang hanya dibalas kekehan Tristan dan kedikan bahu Non.
"Btw, kalian tidur di mana?" Ini hal krusial yang harus diperjelas. Hanya ada area bujang dan area gadis. Tidak ada unisex area yang bisa ditempati pasangan suami dan istri. Bahkan Fabian pun tidak pernah mengajak Rey menginap di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...