42, Alarm

150 48 25
                                    

LALU ...

"Itu nyamuk di jidat lu?"

"Hah?"

Plak.

"Sorry. Bener kan, nyamuk." Dengan wajah datar Tristan menunjukkan hasil tangkapannya di tangan pada Non. "Ya sudah, gue ke Bang Ando dulu ya. Terus langsung ke kos. Lu masuk deh. Istirahat dulu aja. Nanti bangun pagian kerjain tugas."

Tristan hanya melambaikan tangan berpamit, lalu langsung menyambar semua keperluan Ando kemudian berjalan meninggalkan Non terdiam seperti tersengat kala[jengking].

Sepeninggalan Tristan Non masih harus mengatur detak jantung dan napasnya terlebih dahulu sebelum meninggalkan teras kecil itu.

Apa itu tadi? tanyanya dalam hati sambil memandangi tangan yang tadi digenggam Tristan. Tatapannya bolak-balik bergantian menatap tangan dan sosok Tristan yang sudah menghilang.

SHIT!

Kenapa pula jantungnya harus berdetak sekuat ini?

Dia terus memaki dalam hati. Memaki dirinya yang begitu impulsif menerima rangsangan dari Tristan. Namun hati tidak berbohong kan? Dan reaksi tubuhnya, adalah cerminan hati.

Apa pula ini?

Jantungnya berdetak lebih keras lagi.

Tak mau menunggu lebih lama lagi, seperti orang ketakutan Non bergegas masuk. Namun di balik pintu dia kembali bersandar dan berusaha menormalkan respons tubuhnya. Itu butuh waktu. Dia butuh pengalih perhatian. Melihat tumpukan paket yang sudah rapi, dia tidak teralihkan. Namun ketika melihat ke sudut lain, tempat diktat kuliahnya bertumpuk, dia seakan kembali ke dunia nyata. Tanpa berpikir lagi, dia bergerak menyambar diktat itu, membawanya ke tengah ruang, menyambar meja lipat kecil lalu mulai berkonsentrasi utuh mengerjakan tugasnya.

Bayangan Tristan memang mengganggunya, tapi bayangan Fabian dan Nenek bisa mengembalikan fungsi otaknya. Tak lama, dia bisa mengumpulkan kembali reruntuhan konsentrasinya. Sudah dini hari sampai akhirnya dia jatuh tertidur. Awalnya bersandar di dinding tapi lama kelamaan tubuhnya jatuh merosot sepanjang dinding dan berakhir meringkuk memeluk bantal. Saat dia semakin erat memeluk itulah dia tersenyum dan langsung terbangun. Bergerak cepat, dia duduk merapikan tubuhnya. Mimpinya tak jelas, tapi ada sosok Tristan tersenyum di sana. Mendengus, dia segera merapikan buku-bukunya lalu merapikan posisi tubuh. Bermaksud ingin tidur yang sebenarnya tidur. Namum mimpi itu masih membayang meski matanya sudah terpejam.

Sh*t!

***

Saat makan pagi Ando datang ke tempat gadis bersama dengan Tristan.

"Lu nginap di tenda?" tanya Non sambil menyiapkan piring. Adik-adiknya sudah ribut saling berebut seakan mereka akan kehabisan makanan. Non membiarkan saja mereka begitu. Dia mengambil Angi dari tangan Wini lalu mulai menyuapi si bungsu.

"Nggak. Tapi sebelum subuh gue balik ke rumah," jawab Tristan sambil mengambil piring yang diberikan Ando. "Lu jadi ngerjain tugas?" Non mengangguk. "Ck. Pantas tu mata bengep gitu." Non menunduk saja.

"Memang lu bisa tidur, Bang Trist?" tanya Dadang sambil menyuap. "Dang cuma tidur sebentar. Kebayang pas kebakaran."

Wajah Tristan langsung menegang. Rahangnya kaku ketika giginya beradu bukan untuk mengunyah.

"Sh." Ando langsung mencolek Dadang.

Bekas musibah itu masih sangat membekas. Beberapa bulan berlalu, mereka semua masih sering terbangun dan ketakutan. Bayangan api dan panas seakan memanggang mereka hidup-hidup. Luka itu belum sepenuhnya sembuh. Namun luka yang lain menorehkan sakit dan marah di hati Tristan.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang