46, Sebelum Semakin Membesar

155 48 43
                                    

SETELAHNYA, Non tidak memberikan kesempatan pada Tristan untuk membahas itu. Dia memilih mengabaikan sakitnya. Sudah terlalu banyak beban yang harus lelaki itu tanggung tanpa perlu ditambah rasa bersalah yang lain. Hari berjalan, minggu berlalu, bulan berganti, luka itu akhirnya sisa meninggakan bekas yamg bisa diabaikan. Waktu yang ada lebih baik digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Usaha mereka perlahan namun pasti bergerak. Kesibukan bertambah. Tristan makin merasa Non sangat berdaya guna. Kecermatan dan kegesitannya membuat mereka bisa bekerja lebih optimal. Dia berusaha mentransfer pengetahuannya pada Non.

Seperti siang itu. Tristan mengajak Non membandingkan langsung barang dagangan mereka di outlet resmi mall. Di counter seperti itu, mereka bebas melihat-lihat barang yang mereka mau. Seperti saat itu, Tristan sedang memegang sebuah sneaker yang cukup banyak pemesannya. Dia menunjukkan detail-detail kecil pada Non. Tak ingin ada yang mendengar diskusi itu, membuat mereka berdiri berdekatan.

"Gue nggak nyangka bakal belajar urusan ginian," ujar Non ketika akhirnya Tristan meletakkan sepatu itu ke rak. Mereka bergerak keluar toko. Sudah terlalu lama mereka di sana.

"Gue juga nggak nyangka pengetahuan gue yang kayak gitu berguna." Tristan tertawa renyah. "Dulu ya cuma beli-beli aja. Pas mulai nabung persiapan kabur, makin konsumtif ngabisin duit bokap." Dia makin tergelak sampai kepalanya mendongak. Begitu bebas. Membuat Non tersenyum.

"Apa bokap sebebas itu ngasih uangnya? Maksud gue, nggak pernah ditanya buat apa gitu?"

"Nanya basa-basi aja. Gue sengaja pakai kartu kredit biar dia gampang lacak. Gue jalan-jalan sampai keliling Eropa sama Trisha beli ini itu. Dia nggak nanya-nanya tuh." Tristan mengedikkan bahu.

"Uang nggak ada serinya, anak enak beud morotinnya."

"Saking mereka taunya ya begitu buat ngurus anak." Dia mendecih.

Namun baru saja Non ingin membalas tiba-tiba dia melihat seseorang yang dia kenali yang membuat jantungnya berdetak keras. Tanpa berpikir lagi dia menarik Tristan menghindari orang itu. Gerakan mendadak yang sampai membuat Non nyaris memeluknya membuat Tristan terkejut.

"Ada apa?" tanyanya.

Non menunjuk dengan dagunya.

"Oh, I see." Dia mendengus meremehnya. Lalu mengambil ponsel dan langsung mengambil gambar dua orang itu.

Itu ibunya yang berjalan berdua dengan seorang lelaki. Sangat jelas lelaki itu bukan teman biasa melihat bagaimana ibunya berlaku. Membuat Tristan makin muak, tapi dia terus mengambil gambar.

"Buat apa?"tanya Non berbisik, seakan ada orang lain yang akan mendengar ucapannya. "Lu mau kasih ke bokap? Nggak usahlah. Malah bikin mereka makin ribut aja."

"Ck. Soal itu mah gue nggak peduli. Urusan mereka. Mereka sudah saling tau kok."

"Ck." Ganti Non yang berdecak untuk kekacauan di rumah Tristan.

Satu momen obyek kamera ponselnya menangkap angle yang dia tunggu. Sebelah bibirnya tertarik ke atas menjadi senyum miring yang terlihat sarkas.

"Ayo." Tiba-tiba dia menarik tangan Non keluar dari tempat persembunyian mereka.

"Eh, Tristan!" Panik, Non menarik kembali tangannya. Apalagi ketika dia menyadari arah langkah Tristan ke mana. "Jangan gila lu, Trist."

Namun apalah tenaga perempuan apalagi dibanding tenaga lelaki beraroma marah. Terseret, Non berusaha mengimbangi langkah Tristan sampai akhirnya orang yang mereka tuju menyadari keberadaan mereka. Tubuh ibunya menegang. Terdiam tidak menemukan tempat bersembunyi. Namun Tristan makin santai melangkah. Beberapa langkah di depan ibunya, Tristan berhenti melangkah.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang