126, [END] Epilog juga: At Home

361 52 68
                                    

SAMBUNGAN terputus. Dia mengambil ponsel dari standing lalu bergerak keluar. Dia akan menjemput Non. Berjalan santai, dia menggulung asal lengan kemeja dan menyelipkan dasi di celah antara dua kancing. Masih sepuluh menit sampai waktu yang Non katakan terakhir. Sambil menunggu, dia asyik membaca isi papan pengumuman. Mengabaikan orang–orang yang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Dari jauh Non sudah melihatnya berdiri dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. Melihat sosok itu, rasa rindu mendadak bertambah diiringi perasaan tenang yang luar biasa. Tak henti rasa syukurnya melihat Tristan berdiri di sana. Tak putus bahagianya bisa melihat dan tetap bersama Tristan. Dia benar-benar merasa aman jika di dekat Tristan. Mungkin karena dia melihat sendiri bagaimana Tristan melindunginya dan dia tenang ketika dia bisa menjaga Tristan.

"Hai."

Mendengar sapaan itu, Tristan langsung menoleh dan mendapati gadisnya tersenyum. Manis sekali.

"Baca apa?"

"Ada nama kamu di sini." Dia menunjuk sebuah nama di lembar penerimaan beasiswa. "Gampang nyarinya. Pendek sendiri."

Non tertawa kecil. Makin terlihat manis di mata Tristan.

"Selamat ya, Non. Really proud of you."

"Thanks." Dia tersenyum lagi. "Berkat kamu."

"Aku? Perasaan aku malah bikin kamu makin repot deh. Kasih kerjaan kantor plus dikerjain."

Non mendengus menahan gelak.

"Aku serius, Non."

"Ya aku juga serius. Aku bisa tenang belajar karena kamu selalu support aku."

"Bobotoh apa jakmania nih?"

"Bonek."

"Nah itu paling pas. Bondo nekat nikahin kamu."

Kali ini Non tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Siniin tuh buntelan. Astaga. Kita pindahan juga nggak sebanyak ini bawaannya." Tristan mengambil alih jinjingan dan backpack Non.

"Pulang sekarang?" tanya Non. Sebelah tangan Tristan menjinjing dan mencangklong backpack sementara sebelah lagi merangkul bahunya.

Tristan mengangguk. "Kamu masih ada urusan?" Non menggeleng. "Trisha juga sudah di rumah."

"Pasti lagi main sama Uci dan Ibu deh."

Tristan mengdengus mengiyakan.

"Tadi tuh aku mau pulang dulu taruh mobil, biar kita pulang jalan kaki aja."

"Tapi...."

"Tadi Bang Ian nelepon, lama."

"Bahas apa?"

"Banyak." Tristan sudah memutar kemudi.

"Kesimpulannya?"

"Nggak ada." Datar.

Non tergelak lepas sekali.

"Dia cuma ngabsen masalah aku aja sih. Dari mobil, rumah, kantor, kampus, ..., segala deh. Tapi pas ditanya enaknya gimana jawabannya selalu absurd."

"Ada yang penting nggak?"

"Soal Angi, dia suruh kita tanya yang lain. Soal rumah Papa, dia suruh tanya Dinda. Soal kantor, aku mau merger dia mau tanya Ari dan Aa dulu. Soal kamu, dia suruh tanya psikolog. Kan? Aku bilang juga apa. Nggak ada kesimpulannya. Nanya doang dia mah, kasih solusi mah nggak."

Non makin tergelak. Menggerutu seperti itu, Tristan terlihat sangat menggemaskan. Spontan Non menarik bibir Tristan. Lebih tepatnya mencomot.

"Apaan sih?"

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang