"IYA, Bang," jawab Tristan sementara yang lain total langsung terdiam.
Fabian menarik nafas panjang.
"Berapa duit?" tanya Fabian lagi.
"Nggak usah. Nggak apa-apa."
"Lu masih butuh banyak biaya, Dek."
Ganti Tristan yang terdiam.
"Nggak usah terlalu merasa sebersalah begitu. Semua sudah terjadi. Sudah takdir. Toh ada aja tuh rezekinya. Kita bisa punya rumah lagi."
"Ya kalau Abang percaya itu, apa susahnya gue bilang sudah ada jalannya, nanti juga ada rezeki lagi buat gue."
"Beda, Dek. Beda. Lu tuh begitu karena merasa bersalah."
"Abang kenapa sih nggak percaya banget kalau bokap pelakunya?"
"Nggak ada orangtua mau bunuh anaknya, Trist."
"Hello, Fabian Samudra, kita hidup sudah di akhir zaman. Kiamat makin dekat. Banyak anak bunuh orangtua, orangtua perkosa anak. Sadarlah, Bang. Dan dia mungkin nggak mau ngebunuh kita. Dia cuma mau rumah ini nggak ada biar gue dan Trisha nggak bisa ke sini apalagi sampai tinggal di sini. Itu!"
Di seberang sana Fabian memijat pangkal hidungnya.
"Kalau selama ini gue nurutin aja omongan lu, itu bukan karena gue terlalu nurut sama lu, Bang. Gue cuma nggak mau dia tau donatur rumah ini lu lalu dia ngincer lu juga."
"Tristan!"
"Apa susahnya dia ngincer lu? Kalau teori lu benar, bahwa nggak ada orangtua sejahat itu ke anaknya, maka dia akan lebih gampang ngincer lu."
Fabian menarik napas panjang.
"Kalau sudah seperti itu, apa yang bisa gue kerjain? Sementara lu terlalu baik sampai beda tipis sama naif dan bahlul. Gue yang lebih tau tu orang gimana, Bang."
Semua diam.
"Dari dulu gue yakin dia tau soal lu karena dia kan pernah juga ke rumah Rey. Lalu dia ke kampus, lalu ke sini juga. Selama ini gue nurut semua omongan Abang cuma biar dia nggak ngutak ngatik Abang. Sudah, cukuplah rumah ini jadi korban. Abang cuma mau gerak kalau ada bukti, fine, kita cari. Tapi apa yang terjadi kalau bukti kita dapat tapi rumah kadung kemasukan maling lagi? Terbakar lagi? Bahkan sampai ada korban. Itu yang kita hindari kan?"
Diam.
Hanya tarikan napas yang terdengar kasar.
"Lu masih pegang cash?" tanya Fabian setelah terdiam beberapa saat.
"Gue janji, kalau uang gue habis lu orang pertama yang gue mintain uang. I promise you, Bang. Gue akan minta ke lu seperti yang lain di sini minta ke lu."
Semua diam.
"Biarin gue sedikit ada andil di sini. Ini rumah gue juga. Gue mau jaga sebaik mungkin. Biar gue juga bertanggung jawab. Jangan ajarin gue nyari uang aja, tapi ajarin juga gue ngatur uang. Ajarin gue jadi orang bener, Bang."
"You did it, Trist. You did it. You better than me. I've told you before."
"What?"
"How you treat Trisha."
"Ya ampun, Bang...." Dia menepuk keras dahinya. "Gue nggak ada pilihan lain. Lu nggak perlu ngurus Ari karena Mami Papi sudah jalanin tanggung jawabnya. Gue nggak bisa."
"Lu bisa lepas dari narkoba. Lu bisa bertahan buat Trisha. Apa lagi yang gue harus ajarin ke lu? Cari uang? Sudah. Ngatur uang? Lu sudah bisa. Sejak lu mikir untuk tinggalin rumah itu dan lu sisihin uang jajan lu, lu sudah bisa ngatur uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...