79, Serangan Balik [17+]

263 52 107
                                    

TRISTAN panik.

Rest area yang berikutnya masih jauh di depan. Dan tidak mungkin dia melayani istrinya di rest area kan? Astaga! Trsitan makin panik. Mobilnya berkali-kali oleng sampai dia merasa harus menepi lagi.

"Non, gue mau nelepon Seto. Lu tahan suara sebentar ya. Sebentar aja."

"Gue nggak tahan, Trist..." Desah yang membuat Tristan gila dalam dua jalur. Jalur gairah dan jalur tol. Mereka masih di jalan tol!

"Iya, iya. Gue cuma suruh lu tahan suara. Nih, lu mainin deh barang gue. Terserah, tapi diam ya. Sebentar aja."

Pasrah, berusaha menahan desis ketika tangan Non semakin berani bahkan sampai menyelusup masuk, berusaha menyentuhnya langsung. Tristan menghubungi Seto.

"Whaddup, Bro? Everything is okay?"

"Bro, gue melipir dulu ya. Ada yang harus gue beresin. Ketemu di rumah Rey. Lu duluan ke sana. Gue nyusul siangan." Dia merapatkan rahang agar desisnya tertahan. Non benar-benar memainkan propertinya!

"Hah? Ada apaan sih?"

"Nggak ada apa-apa. Kalau bisa tolong cari kabar Trisha, gue harus ngurus Non dulu. Sh*t!" Sebuah desah lolos saat dia memaki.

"Tristan! Lu kenapa?"

"I'm okay. Gue nyusul ke rumah Rey."

"Trist—"

Sambungan terputus.

Ini membuatnya gila juga. Bagaimana dia bisa waras saat dia harus mencari info adiknya sementara di tengah tol istrinya harus segera dilayani.

Mayday mayday mayday...!

"Non, mainin jari durjana lu dulu bisa? Kayak kemarin gue bikin lu dapat." Tristan sangat serius kali ini. Dia tahu efek obat yang Non minum, tapi dia tidak tahu efeknya sedahsyat ini. "Gue cari tempat dulu ya."

"Please, Trist, gue nggak tahan."

"Iya." Dia menyelipkan tangan Non di miliknya sendiri. Semoga tidak ada PJR. Setelahnya, dia langsung menekan pedal gas sedalam mungkin. Kali ini dia berterima kasih lagi pada performa mobil Fabian yang tetap prima pergi dan pulang. Semoga dia bisa seprima mobil ini nanti. Dengan otak sepenuh ini dan tubuh selelah ini.

Tuhan, jangan permalukan aku di penampilan perdana. Kumohon.

Dia meng-klakson panjang ketika menyalip Seto.

"Weh, gila tu anak. Kebelet boker?"

Tristan sudah lambung kanan melesat jauh.

Non sudah mencapai puncak, Tristan bergidik ngeri dengan apa yang harus dia hadapi, tapi satu sisi gairahnya tentu juga terpacu. Membuat dia makin menggila mengendarai mobil. Mengabaikan klakson-klakson yang marah. Matahari sudah terlihat, jalanan mulai ramai. Hanya apartemen Fabian yang ada di kepalanya. Bisa masuk tanpa check in.

Sejam sejak dia menyadari kesalahan Non, dia sudah memarkirkan mobil di basement. Non masih gelisah.

"Non, kita sampai. Tahan ya. Kita naik dulu." Dia menarik tangan Non dari celahnya dan merapikan baju mereka. Sedikit mengeryit menahan nyeri ketika harus menyelipkan miliknya yang sudah terbangun sempurna. Apa organ ini bisa bertahan lama setelah diserang berkali-kali? Setelah merasa siap, dia langsung membantu Non turun, menyembunyikan Non di dadanya tapi Non dengan gairahnya terus menikmati tubuh Tristan. Membuat Tristan panik dan gila.

Setelah perjuangan maha dahsyat di sepanjang jalan tol, jalan arteri, lift, dan selasar, akhirnya Tristan bisa sampai di tujuan. Begitu pintu terkunci rapat, dia langsung balik menyerang Nona saat itu juga. Dia pun sama tersiksanya. Berjalan ke kamar, satu per satu pakaian mereka terlepas.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang