37, Partner

160 48 38
                                    

SEMINGGU kemudian, Fabian, Ando, dan Non berdiri di bawah pohon menatap bekas reruntuhan rumah. Beberapa pekerja terlihat merapikan sisa-sisa kebakaran.

"Ndo, Non."

Volune suaranya kecil, hanya karena mereka ada di tempat yang sama maka suara itu bisa terdengar di antara suara-suara ribut pekerjaan di depan mereka.

"Ya, Bang."

"Abang nggak bisa ke sini sering-sering apalagi sebentar lagi Abang pergi. Kalian bisa pegang kan? Paling nanti Aa bisa sesekali ke sini."

"Iya, Bang."

"Kalian baik-baik atur uangnya ya. Tristan jangan sampai tau."

Diam.

"Abang mau garasi pakai tembok lalu di atasnya dibikin kamar untuk yang cowok. Mudah-mudahan uangnya cukup."

Kedua adiknya tetap diam. Apa yang harus mereka katakan? Selama ini hanya Fabian dan sedikit dari usaha mereka di kebun yang menyambung hidup mereka senyaman ini. Mereka pun tahu urusan Ben.

"Bang...."

"Ya, Non?"

"Non daftar ke jurusan biasa aja ya. Non nggak usah kuliah dulu juga nggak apa-apa."

Fabian menoleh sambil tersenyum menenangkan.

"Kalau buat sekolah kalian, Abang akan usahakan. Apalagi kamu, Non. Abang mau punya adek dokter, biar gratis kalau berobat." Dia terkekeh sambil mengacak rambut Non.

"Tap—"

"Non, kamu sudah sejauh ini. Abang tau gimana kamu belajar padahal tanggung jawab kamu di rumah ini banyak banget. Jangan bunuh cita-cita kamu sendiri. Pun tanpa Abang, kamu tetap harus berjuang untuk impian kamu."

"Tapi—"

"Doain aja usaha Abang lancar ya. Kalian semua harus sekolah. No debat."

Fabian tetap tersenyum meski bayangan kebutuhannya malang melintang di benaknya. Dia hanya owner perusahaan kecil yang baru saja ditimpa musibah. Selama ini dia merasa hidupnya biasa-biasa saja. Sederhana tak banyak mau. Sedikit yang dia dapat dia gunakan untuk menyenangkan adik dan orangtuanya. Lalu dia ingin menghadiahkan dirinya sendiri dengan mobil yang nyaman dan menyimpan lebihnya dalam bentuk rumah yang akhirnya dia sebut rumah Rey.

Siang itu hawa gunung seakan hilang di lingkupi terik matahari. Mereka tetap berteduh di bawah pohon, sampai akhirnya Non harus berpamit dan bersiap ke sekolah. Dia mencium takzim tangan Fabian. Langkahnya berat mengingat abangnya itu.

***

Fabian benar-benar tidak bisa mengurus pembangunan rumah kayu itu. Selain kampus dan kantor, kesibukannya bertambah dengan mengurus persiapan mereka melanjutkan kuliah ke Paris. Termasuk mengurus Dee yang mendadak menjauh yang membuat pekerjaan Ari tersendat terganggu konsentrasinya yang terbelah-belah. Dia menyerahkan urusan rumah pada Ando yang dibantu oleh Non dan Tristan, termasuk Angkasa.

Untuk sementara, penghuni rumah tinggal di dua rumah petak yang Fabian sewa di dekat rumah yang sedang dibangun. Dua rumah petak itu berdekatan tapi tidak menempel. Setiap waktu makan, penghuni rumah bujang akan datang ke rumah gadis yang menjadi dapur dan ruang makan.

Malam itu, setelah selesai urusan memberi makan penghuni dua rumah, Non berjalan menuju rumah kayu. Rumah yang dibangun sama persis dengan rumah yang lama. Di rumah itu, Non duduk di bawah rumah, di atas dudukan kayu tempat pekerja menghaluskan kayu. Bau kayu menguar sangat kuat di sana.

Dia sedang menatap lokasi bekas garasi dan tempat membuat tempe yang masih berupa reruntuhan sisa kebakaran ketika suara pagar bergerak mengganggu lamunannya. Non langsun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Tristan berjalan ke arahnya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang