66, Blushing

159 48 79
                                    

TIDUR lelap Non terganggu gerakan kasar dan suara merintih. Perlahan kesadarannya datang dan terang lampu langsung membuatnya sadar dia ada di mana. Dia langsung teringat perbincangan terakhir dengan Tristan. Dia berusaha bergerak untuk membangunkan Tristan tapi sulit ketika mereka tertidur berhimpitan di sofa. Gerakan Tristan makin kasar dan erangannya makin merintih.

"Tristan... bangun, Trist." Dia menepuk pipi suaminya sambil terus berusaha membebaskan sisa tubuhnya yang lain.

"Dek..." Mengerang.

"Tristan...." Non menepuk pipi lebih keras. "Bangun...."

"Trisha...." Merintih.

"Trist... ayo, bangun dulu." Dia tidak lagi menepuk tapi mengguncang.

"Trisha..."

"Tristan..."

Tristan tiba-tiba tersentak dan langsung membuka mata. Jika tubuh mereka tidak saling melilit, tentu dia akan langsung terduduk bahkan mungkin jatuh ke lantai. Mereka tidur berdua di sofa sempit. Napasnya masih memburu kasar ketika Non berusaha duduk. Namun dia gagal ketika Tristan justru menyurukkan kepalanya ke dada Non dan memeluk istrinya erat. Dia terus berusaha mengatur napasnya ditemani belaian Non di punggungnya.

"Shh..."

Butuh waktu yang lama dan belaian yang banyak untuk menenangkan Tristan. Setelah pelukannya mengendur, Non merasa sudah bisa membebaskan diri.

"Jangan pergi...." bisiknya lirih.

"Gue cuma mau ambilin lu minum."

"I don't need it. I need you."

Kalimat lirih yang membuat Non memeluk erat lelaki itu. Lelaki yang sudah sah menjadi lelakinya. Gadis mana yang tidak melayang tinggi mendengar kalimat sederhana itu diucapkan lirih oleh lelakinya.

"Kita pindah ke kamar ya. Gue takut lu jatuh pas lagi gelisah."

Mendengar itu, akhirnya Tristan melepaskan pelukannya. Bukan dia takut jatuh, dia hanya tidak mau Non jatuh. Terhuyung, Tristan berjalan berpegangan pada Non. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sementara Non duduk di tepi ranjang.

"Jam berapa sih?"

"Masih jam satu. Tidur lagi aja."

Tristan mengangguk. Non berdiri.

"Mau ke mana?"

"Lu nggak haus? Tadi gelisah gitu. Gue ambilin minum sebentar ya."

Diamnya Non anggap iya. Setelah menghabiskan satu gelas, dia duduk bersandar di kepala ranjang, menatap kosong ke depan.

"Lu sering mimpi buruk?"

"Dulu sering. Pas gue keluar dari rumah itu sudah jarang banget."

"Apa yang bikin bisa begitu?"

"Setiap detik gue di sana, gue selalu nggak nyaman. Gue merasa harus selalu siap-siap dengar mereka ribut. Apalagi pas ada Trisha. Gue beneran harus stand by. Itu bikin gue capek dan perasaan harus stand by itu yang masuk ke mimpi."

"Dan tadi lu dengar lagi mereka ribut."

Tristan mengangguk. "Kalau gue ingat-ingat, ketika gue sudah keluar dari sana, gue sering mimpi ketika gue dari sana. Kayak masih kebawa hawa-hawa rumah itu." Tristan bergidik. Non hanya bisa membatin saja, separah itukah efek ribut diketahui anak? "Makanya tadi gue minta temenin. Gue tau kalau kemungkinan besar gue akan mimpi buruk."

"Tapi lu tetap mau tidur? Maksud gue, apa ada fase lu merasa nggak mau tidur daripada diganggu mimpi terus."

"Ada. Dan gue lari ke shabu."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang