40, Kelemahan Non

152 47 27
                                    

HARI benar-benar masih pagi ketika Tristan datang. Meski masih pagi, kehidupan di rumah kontrakan gadis sudah sangat hidup. Mereka sudah berkumpul untuk makan pagi. Tristan yang memang melaparkan diri tentu langsung bergabung.

"Bang, gue mau pakai mobil ya," izinnya pada Ando. "Mau ajarin Non nyetir."

Ando antara ingin terkekeh dan tersedak. "Gi dah. Tapi sabar-sabar aja ya."

"Kenapa?"

"Pokoknya sabar aja." Kali ini dia terkekeh tanpa tersedak.

***

Akhirnya Tristan mengerti kenapa Ando berpesan seperti itu. Dia memang tidak berharap Non langsung lancar mengendarai mobil dalam satu kali latihan tapi melihat durasi mereka belajar, Tristan benar-benar butuh bersabar. Sudah nyaris tengah hari tapi belum ada kemajuan yang berarti.

.

Ciiittt...

.

Tangan Tristan langsung menarik rem tangan ketika Non lagi-lagi salah menginjak pedal. Kesal, Non memukul kemudi. Mereka berada di jalan komplek yang sangat sepi. Kerindangan pohon peneduh jalan tidak membuat suasana di dalam mobil sejuk.

"Sudah sih, Trist." Wajahnya makin kacau ketika lelah dan frustrasi bergabung. "Otak gue nggak dirancang untuk nyetir."

Sejauh ini memang mobil masih utuh tanpa lecet. Non berhasil tidak menyerempet atau menabrak apa pun itu, namun sepertinya mereka perlu memeriksakan tulang leher yang terlalu sering mendadak maju atau mundur ulah salah menginjak pedal. Termasuk memeriksa ulir ban. Mungkin ban sudah mulus tanpa ulir.

"Tapi lu harus bisa, Non."

"Gue nggak masalah naik angkot atau ojek kok."

"Lu cuma butuh latihan aja. Buktinya lu bisa bawa motor."

"Itu juga Bang Ando hopeless ngajarinnya."

"Tapi bisa kan?"

"Ya karena gue butuh. Dan kepakai buat sehari-hari. Kalau mobil buat apa?"

"Suatu hari lu akan butuh. Pokoknya lu harus bisa. Hari gini, cewek harus bisa semua."

"Gue bisa masak, gue bisa beberes rumah, bahkan gue bisa benerin genteng. So what kalau gue nggak bisa nyetir?" Non meradang. "Kayak gue cewek menye-menye nggak bisa ngapa-ngapain aja kecuali ngangkang gitu?"

Tristan terbahak sangat lepas. Terlalu kesal, Non tidak lagi peduli pada ucapan-ucapannya.

"Non, bakso tuh. Maksi dulu yuk."

"Nggak mempan bakso aja. Harus nasi."

Tristan tergelak lagi sambil keluar mobil. Masih menggerutu, Non ikut keluar lalu membanting pintu mobil sekeras yang dia bisa. Membuat Tristan makin terbahak. Ada semacam dangau yang biasa dipakai ojek pangkalan menunggu penumpang. Ke sanalah tujaan mereka. Tristan mengambil alih kemudi untuk mendekatkan mobil dengan tujuannya. Dia membiarkan Non berjalan kaki ke dangau lalu langsung membanting bokongnya di sana. Membuat Tristan terkekeh.

"Bakso dua, Bang," pesan Non.

"Ada lontongnya tuh, Non." Tristan melirik ke gerobak. "Lima mah cukup lah ya."

Dia ikut membanting bokong di samping Non sambil lagi-lagi terkekeh. Kali ini Non benar-benar jengkel pada Tristan. Namun jengkelnya tak bertahan lama. Ketika seporsi bakso mendekat ke arahnya dengan harum kuah yang menguar, jengkelnya langsung hilang. Dia gadis biasa yang sulit bertahan dari godaan semangkuk bakso. Tak merasa perlu menjaga image, Non duduk mengangkat sebelah kaki.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang