63, Ini Bukan Cinderella Story

152 43 47
                                    

NON tidak bisa tidur lagi. Dia duduk di tepi ranjang, tergugu memikirkan semuanya. Baiklah, dia selalu mengakui meski hanya dalam hati bahwa dia memiliki rasa khusus pada Tristan. Rasa seorang wanita kepada lawan jenisnya. Namun dia yakin, rasa itu bisa dia tekan hanya dengan mengingat perbedaan mereka. Toh selama ini yang terjadi kan? Selama ini, itu yang sudah dia lakukan kan? Dan semua baik-baik saja. Tidak sampai ada peristiwa yang Fabian takutkan terjadi. Semua aman terkendali ketika dia berhasil mengendalikan hati dan perasaannya.

Katakanlah dia tidak percaya diri. Tapi cinderella story tidak ada dalam bayangannya. Dia gadis yang kuat yang tidak akan diam saja dirundung saudaranya. Dan di sini, dia kakak. Kakak yang baik untuk adik-adiknya. Dia hanya berharap, suatu hari nanti bertemu seorang pria yang mau menerima dirinya dengan orangtua yang tidak pernah menatapnya sehina itu. Ini hanya caranya menjaga hatinya sendiri. Dia hanya sendirian di dunia ini, siapa lagi yang dia harap bisa menjaga hatinya kalau bukan dirinya sendiri?

Apa yang harus dia lakukan ketika Tristan pun memiliki hal lain sebagai badainya? Haruskah Tristan melajang seumur hidup? Kalau Tristan berusaha mempertahankan pernikahan ini demi menjaga hatinya, seharusnya dia pun berpikiran sama, menjaga Tristan tetap di sampingnya demi mengobati luka itu.

Ini bukan transaksi balas budi karena ada cinta di antara mereka.

Tapi apa cinta saja cukup? Suatu hari Tristan pasti kembali ke rumahnya. Istana megahnya. Di mana tempat dia di rumah itu? Dia hanya cocok menjadi upik abu di sana.

Aaarrrggghhhh....!!!

Ke mana Non yang kuat dan percaya diri?

Saat ini dia tidak menemukan celah untuk kembali menjadi dirinya yang dulu.

Dalam ruang temaran di malam gelap, Non memejamkan mata rapat, menahan air mata yang semakin mudah hadir.

***

Tristan tak tahan. Dia berdiri dan menyambar rokok lalu membuka jendela dan duduk bersandar di sana. Tangannya bergetar ketika menyalakan rokok. Berkali-kali dia menarik napas dan mengacak wajah dan rambutnya.

Dia terlalu asyik melamun sampai tak sadar ada jendela lain terbuka dan orang yang melongokkan kepala di jendela itu memanggil namanya.

Sampai suara pintu terbuka di belakangnya dan Dewa langsung masuk.

"Lu kenapa, Trist?" Dewa menepuk bahu sahabatnya dan duduk di tepi ranjang. Tapi Tristan diam saja. Dan melihat wajah berantakannya, Dewa tahu, sesuatu yang serius terjadi pada temannya.

"Trist...." panggilnya lagi.

"Rey sudah cerita kan?" Akhirnya Tristan bersuara setelah beberapa saat.

"Soal lu nikah? Sudah. Kan sudah ada di grup."

"Rey cerita semuanya kan?"

Grup itu memang hanya berisi mereka berenam saja tanpa Fabian. Jadi, pasti Rey yang bercerita.

Dewa menarik napas berat.

"Lalu sekarang lu kenapa?"

Tristan menarik napas berat.

"Gila! Gue nggak bisa hilangin bayangan bonyok. Status ini bikin gue merasa terperangkap di sana."

Dewa tekun menanti.

"Selama ini gue ngebohongin diri gue sendiri kalau gue nggak mau deket sama cewek karena gue sibuk blablabla. Tapi kemarin, mendadak dijorokin kayak gitu, gue tau yang sebenarnya, gue nggak bisa ngelak lagi kalau pengalaman buruk itu ternyata ngebekas dalam banget."

"Kemarin siang lu foto-foto sama Dinda kayaknya baik-baik aja deh."

Tristan menutup rapat matanya."

"Kemarin. Jangankan kemarin tadi aja gue baik-baik aja kok. Sekarang?"

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang