NON tidak menghitung berapa lama dia menunggu. Dia hanya menunggu kesembuhan Tristan saja. Pagi pertama setelah operasi dia memang belum bisa melihat mata suaminya. Namun di sore hari dia hanya bisa melelehkan air mata saat melihat mata Tristan terbuka dan lebih bercahaya. Keesokan harinya dia lebih bahagia saat Tristan sudah bisa tersenyum. Hanya itu yang membuat Non tidak menghitung berapa lama dia menunggu di rumah sakit tanpa pernah pulang satu kali pun.
Sampai hari yang dia tunggu pun datang. Hari di mana dia berjalan sepanjang selasar di samping brankar yang membawa Tristan ke ruamg perawatan. Dia terus tersenyum sepanjang perjalanan singkat itu. Tristan pun. Tubuhnya memang belum pulih benar tapi daya hidup membuat tanda-tanda vitalnya stabil dan membaik.
Dan di sanalah mereka. Meski masih di rumah sakit tapi setelah perjuangan maha dahsyat antara hidup dan mati di TKP dan meja operasi, berada di ruang perawatan adalah mukjizat.
Non membantu menyamankan posisi lelakinya di ranjang.
"Tidur ya. Istirahat," bisik lembut Non sambil membungkuk dan mengelus pelipis Tristan.
"Mata kamu cantik banget, Non," tukas Tristan tak peduli ucapan Non apa.
"Ari nanya, lu mau dipindahin ke Jakarta apa Bogor gitu?" Santai, Dinda sebagai petugas piket duduk di kaki ranjang bertanya tak peduli dua orang yang lain semacam melupakan keberadaannya.
"Lu nggak mau keluar aja, Dee?"
"Santai aja. Gue sudah biasa lihat orang pacalan gara-gara Rey." Dia malah mengambil gambar Non dan Tristan lalu langsung mengirimnya ke grup. "Mau pindah nggak? Biar sekalian Ari urus. Cari rumkit dulu di sana, baru Ari ke sini."
"Gue sih terserah yang lain aja," jawab Tristan. "Di sini nggak masalah. Cuma lu aja pada jauh banget ke sininya. Padahal gue nggak usah ditemenin terus lah."
"Gue nggak nemenin lu sih. Gue temenin Non."
"Nah, itu dia." Tristan menoleh menatap Non. "Aku tinggal pemulihan kok. Nggak apa-apa sesekali sendirian. Kamu pulang gih. Istirahat yang benar. Kamu sudah nggak kuliah berapa lama?"
"Jadi gue jawab apa nih ke Ari?" Dinda tetap santai tak merasa mengganggu dan terganggu.
"Kalau lu nanya gue, gue terserah kalian yang pada bolak balik."
"Oke, gue omongin ke yang lain dulu." Dia turun dari ranjang. "Gue cabut dulu. Pacaran gih. Gue juga mau pacaran."
"Ck."
Tersisa mereka berdua di ruangan itu.
Apa yang bisa mereka lakukan selain saling pandang? Memuaskan mata saling melihat, merasai keberadaan satu sama lain. Non terus membungkuk dan mengelus rambut di pelipis Tristan. Sementara sebelah tangannya lagi merasai tonjolan perban di perut Tristan dengan tangan Tristan di atasnya.
"Kamu kurusan ya?" tanya Tristan melihat pipi tirus Non.
"Nggak tau. Nggak pernah nimbang."
"Istirahat, Non. Pulang. Kamu nggak pernah pulang kan? Aku sudah nggak apa-apa kok." Tristan terus meyakinkan Non.
"Nanti kalau kamu sudah pulang ya."
"Kita tinggal di mana ya, Non?" Tristan menarik napas masygul. "Aku sudah bisa sih ke kos lagi. Paling Dewa yang bolak balik beliin makan. Kamu di rumah Bunda aja ya. Biar enak kuliahnya. Aku beneran nggak apa-apa."
Tiba-tiba Non menyurukkan wajahnya ke lekuk leher lelakinya. Membuat Tristan spontan memeluk dan mengelus rambutnya.
Terpejam, Tristan menikmati pelukan itu. Merasai kebersamaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...