FABIAN kembali berjalan ke arah Tristan yang duduk di tumpukan material bangunan. Bahkan ketika Fabian sudah duduk di sampingnya, Tristan tetap bergeming. Duduk menunduk dengan siku bertumpu pada lutut. Fabian menunggu sesaat sebelum dia menepuk pelan bahu Tristan.
"Tristan...." Yang disebut namanya tetap bungkam. "Abang sudah ngomong sama Non."
Tristan masih diam hanya napasnya makin menderu. "Apa kamu nggak ada rasa sama sekali sama Non?" Tristan tetap diam. "Jujur sama gue, Trist."
"Bang...." Akhirnya Tritsan bersuara meski dia tetap menunduk.
"Ya."
"Gue nggak siap." Suaranya bergetar.
"Pertanyaan gue bukan itu. Gue tanya, apa lu nggak ada rasa sedikit pun sama Non?"
Lagi-lagi Tristan diam.
"Ingat-ingat lagi kebersamaan kalian. Apa yang bikin lu bisa awet kerja sama Non. Apa yang bikin lu mau jemput Non ke rumah Bunda sebelum ke mana-mana padahal kalian bisa ketemu di stasiun aja."
Tristan menggigit bibir, tubuhnya bergerak maju mundur dengan tangan saling meremas.
Tak ada suara di antara mereka. Fabian terus tekun melihat sosok limbung di sampingnya. Wajjahnya begitu berantakan, ekpresinya galau.
"Jujur sama diri lu sendiri, Dek."
"Gue nggak siap, Bang."
"Nggak siap apa? Nggak siap nikah?"
Tristan mengangguk.
"Nggak siap jatuh cinta?"
Tristan langsung menoleh menatap Fabian. Mata Tristan menjawab pertanyaan yang tadi menggantung di benaknya.
"Kenapa, Dek?"
Tristan masih terperangah dengan ekspresi teriris. Sampai ketika Fabian menarik napas, Tristan tersadar lalu dia kembali menunduk
"Gue ngurus diri sendiri aja nggak becus, gimana ngurus anak gadis orang?"
"Alasan lain?" Fabian terus berusaha mengorek isi hati Tristan.
"Gue nggak siap, Bang."
"Iya. Itu gue tau. Lalu?"
Seandainya Tristan bisa menarik keluar jantungnya, dia akan menarik keluar organ itu untuk diperlihatkan pada Fabian betapa jantungnya berdetak sangat kuat. Ini bukan soal ketidaksiapan. Ini soal yang lain.
Malam mulai mendekati tengahnya. Dingin makin menusuk. Tapi bukan itu yang membuat Tristan menggigil.
"Trist, lu kedinginan?"
Jika yang menggigil itu wanita, Fabian tidak akan bertanya lagi, dia akan spontan melepas hoodie-nya. Tapi Tristan lelaki. Aneh rasanya menyelimuti Tristan seperti itu. Dan, entah mengapa, Fabian yakin, bukan dingin malam di lereng gunung yang membuat Tristan menggigil. Ada yang lain....
"Bang ..."
"Ya."
"Gue takut."
Fabian menarik napas panjang sambil menengadah. Berusaha mengambil banyak oksigen dari udara yang meski dingin tapi terasa membekap jiwa.
"Selama ini lu nggak dekat sama cewek karena itu?"
Tristan mengangguk cepat dengan tubuh masih bergetar.
"Lu tekan perasaan lu ke Non juga karena itu?"
Tristan mengangguk lagi. Dia masih menunduk, menyembunyikan wajahnya. Dia terus menggigit bibir sampai asin darah terasa di lidah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...