2, Lelaki Muda Dengan Pengasuhnya

269 53 47
                                    

2009, di pinggir lain Jakarta

DIA hanya terlalu suntuk dengan kondisi rumahnya. Lalu ada bayi kecil yang lucu dan menggemaskan hadir sebagai adiknya. Namun mengingat kehidupan seperti apa yang rumah ini tawarkan untuk adik kecilnya, semua itu membuat remaja itu makin jengah. Kejengahan yang membuat dia terdampar di suatu tempat di pinggir jalan.

Enam belas tahun usianya, tapi yang disebut rumah tidak pernah menjadi rumahnya. Dan rumah itu akan menjadi rumah untuk adik kecilnya. Dia akan merasakan neraka yang sama sepertinya. Apalagi adik kecilnya itu lahir sebagai kesalahan. Bukan. Bukan kesalahan karena memiliki anak lain padahal mereka tidak layak menjadi orangtua. Ini murni kesalahan lelaki dan perempuan. Bagi remaja yang baru mengerti jenis hubungan itu, kehadiran adiknya makin membuat dunianya berantakan. Makin membuat dia bingung dengan hubungan yang terjadi pada orangtuanya.

Bingung dan gamang yang membuat dia terdampar di sini. Rokok di tangannya sudah habis. Dia menginjak puntung mematikan api. Dia mengambil kotak rokok di meja di depannya. Tapi apa lacur, isinya kosong. Membuat dia mendengus kesal. Bermaksud membeli bungkus lain tapi tiba-tiba seorang lelaki menyodorkan bungkus rokok dalam kondisi terbuka dengan sebatang rokok mencuat siap diambil.

Sekejap dia menatap rokok di depannya, lalu pandangannya beralih ke wajah pemberi rokok. Lelaki itu tersenyum dan menggerakkan tangannya, tanda dia sungguh-sungguh menawarkan rokoknya. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Membuat akhirnya si remaja mengambil sebatang yang mencuat dari kepadatan rokok di bungkus itu. Lelaki itu bahkan sigap menyalakan korek gas di depan wajah si remaja.

Asap mengepul dan keduanya saling melempar senyum tipis.

"Gue perhatiin lu baru beberapa kali ke sini," tanya si lelaki.

"Iya."

Lelaki itu tersenyum tipis.

"Kayaknya lagi suntuk banget ya."

"Nggak tau lah. Cuma mau duduk-duduk aja."

"Mangga atuh. Di sini mah bebas. Mau duduk boleh, mau tidur boleh." Lelaki itu membuka tangan tanda mempersilakan. "Oh iya. Gunawan." Dia menyodorkan tangannya. "Biasa dipanggil Gun. Lu?"

"Tristan." Remaja itu menyebut nama dan mengambil tangan Gun untuk dijabat.

"Itu motor lu kan?" Gun menunjuk dengan dagunya sebuah motor 250cc.

"Iya."

"Boleh lu naik motor gede?"

"Memang kenapa?"

"Kayaknya lu belum punya SIM deh."

Tristan terkekeh.

"Gampang lah. Kalau ditilang tinggal salam tempel. Kalau kena razia ya ambil aja. Paling dimarahin bokap. Terserah dia mau keluarin atau beliin lagi. Paling juga bukan dia yang urus. Gue tinggal lapor asistennya aja."

Aha!

Mendadak Gun merasa malam ini bersinar terang. Sasaran empuk. Matanya memang sangat jarang salah mengenali sasaran.

"Lu mogok apaan sampai dibeliin?" Gun masih menggali info. "Mogok sekolah."

"Nggak. Gue cuma minta sama asistennya bokap aja."

"Enak banget punya bokap kayak gitu."

Tristan mendengus. Gun langsung menyimpulkan. Bocah ini berlimpah materi tapi bermasalah dengan orangtuanya. Dia tidak memancing lagi. Untuk pertemuan pertama, info yang dia terima sudah cukup. Meski dia masih bocah, tapi tetap saja, bocah menjelang dewasa ini sudah memiliki insting.

"Besok lu ke sini lagi?" tanya Gun.

"Nggak tau. Suka-suka gue aja."

"Lu nggak sekolah?"

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang