96, Pulang

155 50 69
                                    

"I need you, Trist. Aku takut...."

Satu kalimat pendek yang menyentak Tristan.

Non? Takut? Mendadak pengakuan itu menyentaknya. Selama ini semua terlalu fokus pada dirinya, melupakan korban lain yang mengalami kekerasan fisik, pelecehan, dan mungkin sumber trauma lain.

Panik, dia menarik Non setengah memaksanya duduk. Jika dia lupa luka di perut, mungkin dia akan lebih keras memaksa istrinya duduk. Dia harus melihat langsung wajah Non.

"Nona..." Keningnya sampai berkerut tanda keseriusannya. "Are you okay?"

"Ak... ak... aku nggak tau, Trist. Cuma kemarin di rumah Bunda berasa banget."

"Kamu bisa tidur?"

"Aku minum obat batuk baru bisa tidur."

"Tap... tapi kamu di sini bisa tidur kok."

"Ya makanya. Apalagi di jalan. Aku paksa diri aku beneran. Sampai kayak orang mabuk. Mual. Kaki aku gemeteran nggak kuat berdiri."

"Lalu?"

"Ya aku paksa banget. Aku sudah mau ke sini. Tapi Bunda bilang kamu lagi butuh me time, jadi aku bertahan nggak ke kamu. Aku sendirian, takut, Trist.... Aku takut..."

"Kamu takut apa?" Tristan makin kacau.

"Aku capek, Trist. Aku nggak mau ingat itu. Aku nggak mau mikir. Aku capek." Non menggeleng panik. Dia masih berusaha menekan semuanya, tapi terasa makin sulit.

"Ya sudah, ayo tidur."

"Kamu di sini aja bisa nggak?" Mereka sedang duduk di sofa bed.

Jantung Tristan makin berdetak. Apa yang sudah dia lewati selama ini? Mereka tidak pernah membahas apa yang terjadi pada Non sejak peristiwa itu. Semua fokus pada dirinya. Termasuk dia sendiri.

"Bisa." Tristan langsung bangun hendak menyiapkan sofa bed itu menjadi ranjang mereka. Non pun meski gerakannya lemah dia ikut membantu. Melihat itu Tristan makin... tak jelas.

"Tidur, Non." Perlahan dia merebahkan tubuh, menyiapkan dirinya sebagai sandaran Non. "Ada aku. You'll be okay."

Mendesah, tanpa suara lain Non bergelung di dada Tristan. Tangannya meraba bekas luka di perut suaminya. Merasai luka itu sekaligus memastikan tidak ada gerakannya yang akan membuat Tristan berkeryit.

***

Mereka melewati malam yang tenang. Meski begitu, pengakuan Non membuatnya lebih waspada. Membuat dia semakin berusaha terlihat benar-benar sehat. Non terlihat... rapuh. Dia kelelahan dan ... ah...

Dering ponsel mengalihkan perhatian keduanya. Ari di seberang memangil mereka. Tristan menyalakan pengeras suara.

"Yaps."

"Jam berapa dijemput?"

"Nggak usah lah, Ri. Lu kayak nggak ada kerjaan aja."

"Its Saturday, Dude."

"Ya istirahat lah. Kasihan Dee ditinggal-tinggal terus. Kirim supir aja ke sini."

"Gue ada di sini, Nyong. Nanti ikut ke sana. Sudah sih, jawab aja. Dijemput jam berapa? Ribet amat." Dinda menggerutu.

"Ck. Terserahlah."

"Ya sudah, tunggu aja."

Menunggu Ari dan Dee datang, mereka merapikan kamar. Kepulangan Tristan membuat perhatian Non teralihkan. Tristan merasa Non yang dia kenal telah kembali. Setelah semua siap, urusan dengan administrasi pun sudah selesai, mereka duduk santai di sofa. Tak mau merusak suasana, Tristan tidak membahas apa pun lagi. Dia hanya menyalakan TV dan mereka menonton kartun anak.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang